Belanda menyerahkan sebanyak 472 koleksi benda bersejarah kepada Indonesia. Penyerahan tersebut, secara simbolik, dilakukan di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda, Senin, 10 Juli 2023 silam. Benda-benda bersejarah tersebut terdiri dari Keris Puputan Klunkung dari Kerajaan Klungkung, Bali; empat arca era Kerajaan Singasari; 132 benda seni koleksi Pita Maha Bali; dan 335 harta karun jarahan Ekspedisi Lombok 1894.
Departemen Sejarah UGM, bekerja sama dengan Museum Ullen Sentalu, menggagas Konferensi Studi Critical Heritage Interdisipliner di Indonesia untuk merepons repatriasi tersebut. Bertempat di Museum Ullen Sentalu, Kaliurang, Sleman, Senin, 14 Agustus 2023; konferensi tersebut bertujuan untuk mengembangkan kurikulum warisan kritis (critical heritage) dan membuka kerja sama antara museum, komunitas, dan pegiat kebudayaan dalam pemanfaatan warisan.
Dalam pidato kuncinya; Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, menyatakan produksi pengetahuan secara interdisipliner penting untuk mengungkap seluk-beluk warisan. “Dekolonisasi bukan hanya pengembalian benda-benda ke tempat asal, tetapi juga penelusuran terhadap perjalanan panjang benda-benda tersebut sebelum dirampas,” kata Hilmar Farid.
Produksi pengetahuan, menurut Hilmar Farid, akan menjawab tantangan agar repatriasi tidak menjadi akhir siklus dekolonisasi, melainkan fase untuk menentukan benda bersejarah akan terpisah dari masyarakat atau terintegrasi kembali kepada masyarakat asal. “Tugas selanjutnya bagaimana kita membuka akses bagi masyarakat luas untuk ikut berinteraksi dan memberi makna bagi benda-benda tersebut,” kata Hilmar Farid.
Tak hanya berhenti pada masa lalu, Hilmar Farid menegaskan produksi pengetahuan harus diarahkan untuk berpikir tentang masa depan. “Apa yang bisa dipreservasi untuk kepentingan masa depan?” kata Hilmar Farid. Pemaknaan benda sehari-hari serta peninggalan flora dan fauna, lanjut dia, adalah tantangan yang harus dijawab mengingat krisis iklim merupakan produk kebudayaan modern.
Abdul Wahid, Ketua Departemen Sejarah UGM, menyatakan bahwa pendekatan kritis dan interdisipliner diperlukan mengingat kajian warisan bukan hanya wilayah disiplin ilmu sejarah, melainkan terbuka luas bagi disiplin-disiplin di luar sejarah. “Konferensi ini langkah pertama menuju ke sana,” kata Abdul Wahid.
Senada dengan Abdul Wahid; Farabi Fakih, pengajar Departemen Sejarah UGM, menyatakan bahwa upaya pengembangan kurikulum tak hanya menjawab tantangan seiring pengembalian warisan, tetapi juga dekolonisasi warisan secara umum. “Pertanyaan besarnya adalah bagaimana kita bisa mendekolonisasi warisan melalui kurikulum, program riset, atau program studi baru,” kata Farabi Fakih.
Sri Margana, pengajar Departemen Sejarah UGM, menambahkan pembuatan kurikulum baru patut dipikirkan karena banyak benda-benda bersejarah dikembalikan dengan syarat proficient research. Sayangnya, riset-riset selama ini lebih banyak dilakukan oleh para peneliti dari Belanda. “Kalau warisan dari Belanda pulang ke sini hanya disimpan di museum dan tidak menghasilkan respons apa pun dari sisi pengetahun, sia sia saja,” kata Sri Margana.
Konferensi ini terdiri dari empat panel terpisah. Dalam panel pertama bertemakan “Heritage in Practice”; Grace Leksana, sejarawan Universitas Negeri Malang; KateMcGregor, sejarawan University of Melbourne; Restu Gunawan, Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kemdikbudristek; dan Bambang Widodo, Ketua Umum Badan Musyawarah Musea DIY mendiskusikan topik tentang komodifikasi warisan kolonial, praktik dan teori pendekatan interdisipliner, serta praktik-praktik pelestarian warisan.
Dalam panel kedua bertemakan “Decolonization and Repatriation”; Tular Sudarmadi, arkeolog UGM; I Gusti Agung Wesaka Puja, Direktur Eksekutif ASEAN Institute for Peace and Reconciliation; dan Daud Aris Tanudirdjo, arkeolog UGM mendiskusikan topik tentang perbedaan return, repatriasi, dan resititusi; pendekatan mikrohistori dalam kajian warisan; serta dekolonisasi museum.
Dalam panel ketiga bertemakan “Performing Heritage”; Sumarsam, pengajar Wesleyan University dan Eri Sustiyadi, Kepala Seksi Koleksi, Konservasi dan Dokumentasi mendiskusikan topik tentang pertemuan antarbudaya dalam perkembangan kesenian wayang dan praktik-praktik penyajian warisan melalui museum.
Sementara itu, dalam panel keempat bertemakan “Heritage in Contestation”; Marieke Bloembergen, sejarawan Leiden University; Sukma Putri, pegiat Komunitas Malam Museum, dan Sektiadi, arkeolog UGM mendiskusikan topik tentang kekerasan epistemik terhadap warisan, praktik-praktik diskusi melalui komunitas, dan transformasi identitas museum seiring upaya dekolonisasi.
Penulis: Han Revanda Putra