The Internal Kick-Off Meeting for the Re:Sound project, titled “Restituting, Reconnecting, Reimagining Sound Heritage,” held on 14 April 2025, marked the official launch of a multiyear, multi-institutional research initiative focused on critically engaging with colonial-era sound archives. Conducted in a hybrid format—both in person at Universitas Gadjah Mada (UGM) in Yogyakarta and online via Zoom—the meeting gathered scholars, archivists, curators, students, and community-based practitioners from Indonesia, the Netherlands, and across Southeast Asia. Running from 2025 to 2028, Re:Sound seeks to rethink how sonic heritage is collected, curated, interpreted, and made accessible in the postcolonial present.
berita
Peserta mengikuti kegiatan MasterClass di Ruang 314, Gedung Soegondo, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Foto: Adi Setiawan
We are delighted to announce that our collaborative research team at the Department of History, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada, and the Department of Musicology at the University of Amsterdam (UvA) has been awarded a significant grant from the Royal Dutch Research Council (NWO) under the Research into Collections with a Colonial Context program to support our research project, Restituting, Reconnecting, and Reimagining Sound Heritage (Re:Sound).
Re:Sound is led by Dr. Sri Margana (UGM), the Project Leader and Principal Investigator; Dr. MeLê Yamomo (UvA) and Dr. Barbara Titus (UvA), the Co-Applicants; and Dr. Widya Fitria Ningsih (UGM), the Project Coordinator.
Commencing on January 25, 2025, Re:Sound is scheduled to cover a wide range of activities over the next four years. These include a PhD researcher employed at UGM who will study sound archives in Europe, non-academic short-term visiting fellows (VFs: artists, activists, grassroots archivists, cultural entrepreneurs, community representatives) from Indonesia to the Netherlands, consortium meetings, and a workshop and summer school hosted by UGM in Yogyakarta.
We are particularly excited about our collaboration with the Netherlands Institute for Sound & Vision (NISV), which serves as Re:Sound’s Cooperation Partner (CP). Moreover, Re:Sound emphasises the importance of several Associate Partners in Southeast Asia and Europe to build and expand translocal and transcontinental curatorial networks with accompanying communication infrastructures, in which collection curation is collectively managed by both academics and non-academics in source locations and source communities as well as in formerly colonial metropoles.
The potential impact of Re:Sound is profound. Re:Sound contributes to the complication and diversification of the notion of “heritage” by decentering European agency in the understanding, conception and curation of “heritage” through:
Dr. Leonard C. Epafras merupakan pembicara pertama dalam sesi pertama ini. Beliau mengatakan bahwa, kehidupan Ko Ho Sing ini sebagai apa yang dikatakan Carlo Ginzburg dengan sebutan micro history. Menganalisa pengalaman sejarah kecil atau orang biasa untuk menerangkan proses sejarah yang lebih besar. Setelah membaca buku ini, Dr. Epafraz berpendapat bahwa setidaknya terdapat beberapa garis besar yang menonjol. Pertama, pengalaman Ko Ho Sing, di mana transisi komunitas Tionghoa dalam diaspora. Bagaimana latar belakang seperti kampung halaman menjadi penentu identitas. Kemudian, melihat individual dan antagonistik yang mendrong pada nasionalisme baru. Disinilah dinamika itu terbentuk. Pengalaman Ko Ho Sing, menjadi penting dalam pergeseran budaya ini. Karena dalam momen-momen dimana mereka menjadi pedagang yang terkadang sudah tidak fasih berbahasa Tionghoa, kemudian pengalamannya sebagai orang Tionghoa di Jawa dalam memoir seperti tembang macapat, mencerminkan adanya budaya dan struktur sosial yang fleksibel serta ketegangan di dalamnya.
Mengutip Anthony Reid, Dr. Epafras mengemukakan mengenai essential outsiders, bagi kelompok kolonial. Bagaimana orang Tionghoa sebagai The Other tidak hanya di Jawa tetapi di Asia Tenggara, bagaimana orang luar ini dibutuhkan. Kemudian, poin keempat adalah manivestasi mikro kosmopolitanisme. Pengalaman cosmopolitan tetapi dalam mikrokosmos, mendeteksi pengalaman keseharian. Selain itu, Ko Ho Sing, merupakanindividu laten yang penuh potensi, perjuangan, dan frontier. Dalam bisnis candu yang sudah melewati koneksi di Singapura, Shanghai, menunjukkan agensi yang besar.
Pembicara kedua merupakan Dr. Abdul Wahid, menurut beliau buku ini sangat penting sebagai kontribusi historiografi Indonesia dan Tionghoa Indonesia. Karena menyajikan manuskrip langka berisi memoir atau autobiografi seorang pebisnis Tionghoa dalam bentuk macapat Jawa ini luar biasa. Menurutnya, tokoh ini memiliki kesadaran historis dengan menuliskan sejarah hidupnya, ayahnya, bagaimana membuka peluang bisnis dari nol hingga mancanegara. Abdul Wahid juga memiliki beberapa poin penting yang disampaikan. Pertama, buku ini berisi informasi historis. Sebagai sumber alternative selain sumber dari kolonial. Kedua, merupakan tokoh baru. Ko Ho Sing berbeda dengan tokoh lain, dalam budaya, relasi dengan komunitas lain dan ekonominya. Manuskrip ini tidak hanya tentang Ko Ho Sing, namun juga ayahnya. Karena ayahnya terlibat langsung dengan orang Jawa. manuskrip ini memberikan gambaran perspektif masyarakat Tionghoa dalamperistiwa gempa bumi 1867, praktek opium, dan perang jawa.
Dalam manuskrip digambarkan mereka terjepit ketika perang Jawa terjadi. Menjadi target persekusi dan merelakan property mereka. Mencoba mendekatkan pada siapapun untuk memberikan keamanan. Perspektif yang tidak hitam putih sangat diperlukan. Kemudian pada periatiwa Gempa 1867, menjadi ujian berikutnya. Bagaimana relasi masyarakat itu terjadi,momen dimana melihat siapa musuh atau kolega karena sikap filantropi sesame korban. Pengalaman luar biasa Ko Ho Sing yang tercatat dalam manuskrip ini mengenai praktek opium, berawal dari usaha kecil-kecilan yang kemudian menjadi berkembang dan masuk sektor ekonomi baru. Mereka mengalami mobilitas sosial, masuk lingkaran elit Tionghoa, tetapi juga elit kolonial dan Jawa. mereka menjadi mata rantai dari sistem ekstraksi dan eksploitasi.
Sesi kedua yang dimulai dengan pengantar dari dosen Sejarah FIB UGM, Wildan Sena Utama mengenai hibriditas. Beliau memberikan sebuah contoh dalam bukunya Denys Lombard, Nusa Jawa, bagaimana banyak diaspora, persilangan budaya di dalamnya. Dilanjutkan dengan Prof. Sugeng Priyadi sebagai pembicara pertama mengenai banyak teori yang belum tersentuh dalam sejarah yang menimbulkan berbagai pertanyaan. Maka, beliau berpendapat bahwa Filologi menjadi ilmu penting dalam sejarah. Mengutip dari Sartono, beliau mengatakan bahwa meneliti karya babad atau sejenis bisa mengkaji sejarah intelektual, mentalitas, dan ide-ide.
Pembicara kedua dalam sesi ini merupakan Prof. Rustopo, beliau memberikan materi mengenai Wo Gan Kam yang merupakan penggagas atau creator sekaligus pengusaha wayang orang panggung. Sedikit banyak memiliki kesamaan dengan Ko Ho Sing dalam hal mengembangkan bisnis dari kecil-kecilan hingga memasuki sektor ekonomi baru. Ketika dampak industrialisasi dan pembangunan infrastruktur oleh kolonial, maka terjadi perubahan sosial yang beragam. Gan Kam menjawab tantangan perubahan kondisi ini dengan menghadirkan gaya usaha seni sekaligus komersial. Dalam materi ini, kita tahu bahwa melalui seni dan budaya, hibriditas antara Tionghoa dan Jawa membentuk suatu hal baru.
Pembicara ketiga yang dihadirkan merupakan Prof. Bambang Purwanto. Menyambung Prof. Rustopo terkait Gan Kam, beliau menemukan setidaknya tiga sumber terkait, dijelaskan dalam iklan di abad ke-19, Gan Kam seorang penjual sepatu, maka menurutnya Gan Kam bukanlah pedagang kecil. Iklan berikutnya yang ditemukan pada tahun 1902, berisi teh produksi asal Jepang dan Fromosa atau Taiwan sekarang dijual di Surakarta sebagai pengimpor. Kemudian iklan ketiga pada tahun 1924 dinyatakan bangkrut, sebelum krisis. Prof. Bambang melihat sejarah dalam kehidupan sehari-hari, karena yang disampaikan Prof. Rustopo dinamika berlangsung pada konteks kehidupan sehari-hari. Hibriditas memiliki satu unsur yang sangat penting dalam kontestasi. Apakah dalam konteks ini akulturasi adalah bagian hibriditas?
Konsep hibriditas awalnya muncul dalam konteks kolonial dan konsep Peranakan banyak disalahartikan. Secara historis, hanya untuk oranng cina yang menjadi muslim. Problem kedua, peranakan adalah campuran. Menurut Prof. Bambang, cara terbaik melihat hibriditas adalah dengan menempatkan mereka dalam konteks sehari-hari dapat melalui seni kebudayaan atau juga kuliner. Bukan berbicara tentang ketamakan, tetapi juga ada unsur kemanusiaan, insight yang harus kita perhatikan.
Penulis: Fatimah Azzahra Amalia
Diskusi ini secara resmi dibuka oleh Bapak Dr. Abdul Wahid, M.A., selaku Kepala Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM. Dalam sambutannya, beliau menekankan pentingnya kajian sejarah yang berbasis pada kerja sama akademik antara Indonesia dan Belanda guna mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai periode dekolonisasi dan dampaknya bagi kedua negara.
Acara ini terdiri dari dua sesi panel presentasi yang membahas penelitian-penelitian terbaru mengenai sejarah perang kemerdekaan Indonesia dan berbagai dinamika politik serta sosial yang menyertainya. Panel pertama diisi oleh Martijn Eickhoff dengan presentasi bertajuk Over de Grens: Beyond the Pale (Melewati Batas). Dalam paparannya, Eickhoff mengulas berbagai perdebatan akademik di Belanda mengenai Perang Kemerdekaan Indonesia dari tahun 1950 hingga 2010, upaya advokasi penelitian sejarah yang mendapat dukungan dari pemerintah Belanda, serta kesimpulan utama dari penelitian yang menunjukkan bahwa kekerasan ekstrem oleh tentara Belanda selama perang tersebut tidak dapat lagi dianggap sebagai insiden yang terisolasi.
Panel kedua disampaikan oleh Dr. Abdul Wahid, M.A., dan Dr. Yulianti, membahas hasil penelitian kolaboratif antara Universitas Gadjah Mada dan KITLV mengenai Proklamasi Kemerdekaan, Revolusi, dan Perang di Indonesia pada periode 1945-1949. Diskusi dalam panel ini menyoroti berbagai pendekatan historiografi yang digunakan dalam penelitian tersebut, tantangan yang dihadapi dalam menggabungkan perspektif Indonesia dan Belanda, serta kontribusi penelitian ini dalam membentuk generasi baru sejarawan Indonesia yang mampu terlibat dalam diskursus sejarah global.
Selama diskusi berlangsung, para peserta aktif mengajukan berbagai pertanyaan dan tanggapan yang memperkaya pemahaman mengenai tema yang dibahas. Beberapa topik yang banyak disoroti adalah bagaimana negara-negara kolonial mempertanggungjawabkan tindakan militernya di masa lalu, dampak kekerasan terhadap masyarakat Indonesia, serta bagaimana historiografi Indonesia dan Belanda dapat terus berkembang melalui kolaborasi akademik yang lebih erat.
Acara ini ditutup dengan pernyataan dari moderator yang menyimpulkan bahwa penelitian sejarah tidak hanya bertujuan untuk menggali fakta-fakta masa lalu, tetapi juga berkontribusi dalam membangun pemahaman yang lebih adil dan berimbang mengenai sejarah bersama antara Indonesia dan Belanda. Para peserta diharapkan dapat terus mengembangkan diskusi akademik ini dalam berbagai forum lain guna memperkaya wacana sejarah dekolonisasi Indonesia.
Penulis: Muhammad Faisal Adnan
Kegiatan ini dibuka dengan materi yang disampaikan oleh Pasang Budy A. Shodiq, lulusan S1 dan S2 Sejarah UGM yang kini berprofesi sebagai Asisten Pribadi Wikan Sakarinto, LPK TEFA Inspira Indonesia, Ketua Yayasan Reading Volunteer Indonesia dan fotografer sebagai side job yang ia gemari hingga membuka studionya sendiri. Dalam prosesnya, Pasang melewati berbagai kesulitan untuk mencapai titik ini. Ia selalu mengingat kalimat yang dikatakan oleh Bambang Purwanto pada saat dirinya menjadi mahasiswa bahwa, “Kalau kamu belajar sejarah, kamu bisa menjadi orang yang lebih bijak.” Nasihat inilah yang dipegangnya, sehingga dirinya tidak berkecil hati sebagai lulusan Sejarah, bahkan hal ini menjadi motivasi pendorong baginya. Pasang mengakui bahwa dirinya tidak terlalu berbakat dalam prestasi akademik. Sejak perkuliahan ia tidak mengikuti banyak perlombaan yang basisnya akademik. Namun, dia mencoba untuk berkarya dibidang non-akademik, olahraga contohnya. Dia pernah mengikuti sebuah kegiatan olahraga sepakbola hingga timnya dikirim ke Cina/Tiongkok pada tahun 2017.
Pasang, memberikan tips terkait pentingnya sebuah soft skill. Dia berkata bahwa, “Tidak ada apa-apanya memiliki kemampuan dalam hard skill, namun tidak dibarengi dengan soft skill.” Kemampuan ini nantinya akan membantu kita membentuk jati diri, membedakan dengan orang lain hingga membantu membuka peluang karir lebih luas dalam membangun interpersonal, bertindak sosial, dan komunikasi dalam bermasyarakat. Selan itu, ia juga memberikan tips untuk tidak terlalu egois dalam menggapai mimpi, kita haruslah fleksibel dan terbuka terhadap apa yang datang kepada kita.
Narasumber kedua adalah Khabibah, lulusan S1 Sejarah UGM 2016 dan sekarang menempuh pendidikan S2 Sejarah UGM. Sebelum meneruskan pendidikannya, ia mencoba berbagai pekerjaan dari seorang admin kewirausahan dari tahun 2017 sampai dengan 2018. Kemudian pada 2019 hingga tahun 2023 ia menjadi arsiparis di ANRI. Lima tahun di Direktorat Akuisisi dan sekarang dirubah menjadi Penyelamatan Arsip Statis, Khabibah bertugas untuk menarik arsip-arsip kementerian lembaga negara agar di masa mendatang masih memiliki arsip masa sekarang. Selain itu tugasnya juga melakukan penyelamatan dan pengambilan arsip serta memusnahkannya. Khabibah juga melakukan wawancara lisan terkait kebutuhan arsip yang dikerjakannya.
Khabibah juga memberikan sebuah nasihat mengenai pengelolaan uang. Bagaimana kita harus pandai mengelola dan membelanjakan uang yang kita miliki. Sebagai contoh, apabila bekerja dan mendapat gaji, sebaiknya tidak dihabiskan sekaligus dan baiknya untuk ditabung. Karena, masa depan tidak ada yang tahu. “Titik krusial bukan dapat membeli barang, tetapi menentukan hidup (masa depan),” tambahnya. Dosen Yulianti menambahkan untuk menyiapkan kemampuan dan pengalaman kita agar eligible terhadap lingkungan sekitar kita. Ibu Mutiah Amini juga memberikan sebuah wejangan, bahwa sekecil apapun kemampuan kita kita harus memberikan performa terbaik dan bangga akan hal itu. Kemudian, acara dilanjutkan dengan sesi curhat serta tanya jawab.
Penulis: Khairana Marwadika
Dia mengikuti lomba menulis ini karena merasa tertantang dan ingin memberi motivasi dirinya untuk menjadi yang terbaik. Selain itu, lomba ini juga tidak dipungut biaya, jadi memudahkannya untuk mendaftar. Dia mengaku mendapat informasi perlombaan dari salah seorang teman dalam grup WhatsApp. “Jadi, aku tau lomba ini dari teman. Lomba di share di grup. Aku baca, lalu aku merasa tertantang. Pendaftarannya juga gratis jadi memudahkan mahasiswa untuk mengikutinya. Kenapa ikut lomba ini karena juga memberi motivasi untuk berusaha lebih baik lagi. Kan kita bersaing dengan banyak orang. Nah, di situ kemampuan akan diuji.” Ia juga menambahkan, “Aku juga termotivasi akan hadiah yang akan diberikan jika menang nanti. Setahuku orang yang menang itu akan mendapat pengakuan dari orang lain.” ucapnya dalam sebuah wawancara online pada Selasa, 05 November 2024.
Dalam melakukan wawancara dengan tokoh yang dia tulis, Daffa mengaku memiliki beberapa tantangan salah satunya adalah keterbatasan waktu. Karena tokohnya merupakan seorang pengajar di perguruan swasta dan wirausahawan. Proses melakukan wawancara tidak serta merta langsung dilakukan. Daffa menggunakan metode kedekatan emosional terhadap tokoh masyarakat ini. Sebelumnya Daffa sudah mengenal beliau dari sebuah pagelaran dari project Dinas Kebudayaan Jogja, dan beliau salah satu kuratornya. “Jadi, saat wawancara memang harus efektif. Persiapan wawancara harus matang. Kita harus punya kedekatan emosional dengan narasumber kita. Nanti kita baru bisa menggali apa pemikiran beliau ini.” Ucapnya. Daffa juga menambahkan bahwa mereka sering berbagi cerita dan bertandang ke rumah tokoh ini. Daffa memiliki strategi atau persiapan dalam wawancara seperti yang diucapkannya berikut, “Aku percaya kalau niatnya baik pasti akan berbuah kebaikan juga. Kalau bertamu ya yang sopan saja. Cara bertanya itu jangan langsung to the point tapi pelan-pelan. Caraku bertanya juga diselingi cerita lain. jangan membuat narasumber menjadi tertekan. Narasumber harus tau kalau kita punya niat baik. Kita juga harus jujur dan apa adanya. Nanti pembicaraan akan mengalir sendirinya.”
Tokoh yang ditulisnya memiliki keterbatasan dalam disleksia yang menyulitkannya untuk membaca. Namun, tokoh ini tidak mudah menyerah dan tidak patah semangat. Daffa, termotivasi untuk menulis tokoh ini karena semangat juang dan sikapnya yang patut dicontoh. Narasumber merupakan tokoh masyarakat yang tidak pamrih untuk membantu lingkungan sekitarnya seperti membuat taman bacaan, perpustakaan keliling dan bimbingan belajar gratis. Daffa juga mengaku bahwa motivasinya menulis beliau karena, tokoh ini dibentuk dari lingkungan sekitar yang toxic dan adanya perbedaan kepercayaan dalam latar belakang keluarganya sehingga membuat dia lebih open terhadap kemanusiaan. Daffa mengaku bahwa dia belajar banyak dari narasumber yang seorang pekerja keras dan tidak pernah menyerah.
Penulis: Fatimah Azzahra Amalia
Dalam prosesnya, Yuni mengaku direkrut dari awal tahun tepatnya pada 20 Januari 2024 oleh Ilham, ketua dari tim tersebut. Kemudian mereka menentukan topik dan tema hingga berakhir dengan judul riset, “Malih Kebak Warih: Analisis Sosioteknik Pembangunan Long Storage sebagai Upaya Mitigasi Perubahan Iklim pada Masyarakat Pesisir Kabupaten Pekalongan.”
Selama melakukan riset, Yuni berpendapat bahwa tahapan tersulit adalah melakukan survei kuesioner karena skeptisisme dari masyarakat. Selain itu, kendala yang dilalui tim mereka juga berasal dari peran pemerintah ketika mencari data amdal, dimana mereka mengalami ketidakjelasan serta sulitnya persuratan. Mereka juga mengalami tantangan dalam hal komunikasi dengan beberapa anggota tim yang tidak berada di Jogja pada waktu itu.
Yuni menceritakan pengalamannya selama berlangsungnya perlombaan. Dia tidak menyangka bahwa pemasangan poster memakan waktu 3 jam baru selesai. Poster harus dipasang secara presisi sesuai dengan persyaratan yang diberikan. “Cukup menguras energi,” katanya. Dalam kelas presentasi, mereka diminta untuk menceritakan bagaimana sejarah dari masyarakat pesisir ini serta menjelaskan mengenai etnografi mereka. Pengalaman yang sangat membanggakan dan menyenangkan dialami oleh mahasiswa Sejarah ini. Dia berpesan untuk menggunakan waktu kita sebaik mungkin dengan mengikuti PIMNAS dan manfaatkan privilege itu!
Penulis: Fatimah Azzahra Amalia
Fatiya mengisahkan perjalanan penelitiannya yang tidak mudah. Berawal dari Januari 2024, Fatiya dan tim menentukan topik penelitian. Kemudian setelah melewati serangkaian tahapan administrasi dan seleksi yang cukup ketat, Fatiya dan timnya berhasil mendapatkan kesempatan untuk mempresentasikan hasil penelitian mereka di Surabaya pada Oktober 2024 lalu. Bagi Fatiya, tahapan paling berat dalam proses ini adalah membagi waktu antara aktivitas perkuliahan dengan kegiatan lain karena kedua hal ini sama pentingnya bagi Fatiya. Yang mengejutkan baginya adalah ketika melakukan presentasi, timnya terasa gugup dalam menjawab, tetapi tidak menyangka akhirnya mendapatkan emas.
Meskipun tidak menjadi ketua tim, Fatiya merupakan salah satu anggota yang menjadi penyumbang ide utama dalam riset penelitian yang dilakukan bersama timnya. Fatiya mengajukan sebuah ide untuk riset sosial humaniora melalui pendekatan critical animal studies. Idenya ini berawal dari presentasi Dr. Abdul Wahid, seorang sejarawan sekaligus Ketua Departemen Sejarah, dalam summer school yang bertajuk “The 1st Summer School on Environmental History in Indonesia” pada 2023 lalu.
Dalam summer school tersebut, Abdul Wahid mempresentasikan sebuah materi yang berjudul “Mempertimbangkan Pendekatan (Critical) Animal Studies untuk Penelitian Sejarah Lingkungan di Indonesia.” Dari presentasi Abdul Wahid, Fatiya mendapatkan pengetahuan baru bahwa ternyata ilmu sejarah dapat digunakan dalam melihat dan mencari solusi tentang masalah yang terjadi saat ini.
Ketika ditanya tentang kunci kesuksesan yang membawa ia dan timnya meraih medali emas dan perak, Fatiya mengatakan, “Kuncinya disiplin dalam deadline. Kalau sudah disiplin, ya, pasti lebih mudah membagi waktu dan pekerjaan (apa saja yang dilakukan).”
Bagi Fatiya, perdebatan dan diskusi yang terjadi dalam timnya selama delapan bulan terakhir berujung dengan kebahagiaan dan kebanggaan bagi dirinya, nama baik kampus, juga nama baik program studi. Di akhir wawancara, ia menyampaikan, “Maaf dan terima kasih, Pak Wahid. Semoga sehat selalu. Ini emas untuk Pak Wahid.”
Penulis: Khirana Marwadika
Dibuka oleh sambutan dari Kepala Departemen Sejarah, Dr. Abdul Wahid, Beliau menyambut ramah kedatangan seluruh tamu mahasiswa dan dosen. Sesi pertama dilangsungkan dengan perkenalan profil Departemen Sejarah UGM. Pengenalan ini dimaksudkan untuk mengenakan program studi Sejarah UGM sekaligus promosi kepada mahasiswa UIN Sunan Ampel yang nantinya diharapkan akan melanjutkan studi ke Sejarah UGM.
Setelah sesi pengenalan profil, acara dilanjutkan dengan Pemaparan panel diskusi oleh Dr. Ahmad Athoilah dengan tajuk “Kotagede, Kerto, dan Pleret: Sejarah Mataram Islam sampai Amangkurat Agung”. Pak Atho (panggilan Pak Athoilah) menjelaskan hasil penelitiannya mengenai perjuangan Sultan Amangkurat I, sejak pengangkatannya sebagai raja atau sultan hingga penyerangan ke Batavia.
Sisi lain dari Sultan Amangkurat I, Beliau tidak disukai banyak kalangan dengan beberapa alasannya. Pertama, Amangkurat I tidak disukai oleh mertuanya akibat kekecewaannya tidak berhasil memiliki perempuan. Beliau juga kurang pamor dengan saudaranya Pangeran Singosari.
Selain itu, Amangkurat I dianggap melanggar aturan raja karena telah berzina. Akhirnya, Amangkurat I meninggal dalam kondisi sedang melarikan diri. Proses pemakamannya cukup prihatin untuk skala seorang Raja karena hanya dihadiri oleh segelintir orang.
Selanjutnya dilanjutkan dengan sesi tanya jawab oleh mahasiswa dan dosen yang nantinya akan dibahas bersama Pak Atho. Acara ditutup dengan pemberian kenang-kenangan dari perwakilan UIN Sunan Ampel kepada Departemen Sejarah UGM.
Penulis: Muhammad Faisal Adnan