Isu lingkungan yang muncul di abad ke-21 mungkin menjadi salah satu problem yang paling mendesak dan relevan bagi para akademisi dan juga aktivis lingkungan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Solusi yang selama ini tampak bersifat teknokratis nyatanya hanya cenderung menghasilkan marjinalisasi dan kekerasan yang terus berlanjut—bahkan terus menguat. Oleh karena itu, memahami dan mengeksplorasi ragam potensi dan juga limitasi yang ada atas permasalahan lingkungan merupakan sesuatu yang perlu dilakukan.
berita
Pada Selasa, 24 Juni 2025, Departemen Sejarah telah melaksanakan seminar dengan judul “70 Tahun Konferensi Bandung: Dekolonisasi, Pengetahuan, dan Solidaritas Internasional”. Seminar berjalan selama tiga jam lebih, dari jam 10.00 hingga 13.00 WIB, dan dilaksanakan di Ruang Sidang I, Gedung Poerbatjaraka, FIB UGM. Acara dihadiri oleh tiga pembicara, yakni Dr. Wildan Sena Utama, Rachmi Diyah Larasati, dan Ita Fatia Nadila, dan seorang moderator, yakni Ayu Wulandari.
Materi pertama disampaikan oleh Dr. Wildan Sena Utama. Dalam presentasinya, ia berpendapat akan bagaimana Konferensi Asia-Afrika (KAA) menciptakan “momen Bandung”, yang melihat kekuatan kolektif dari berbagai negara dunia ketiga, baik yang sudah merdeka (seperti India dan Libya), maupun yang belum (seperti Pantai Gading). Kekuatan kolektif ini dipusatkan kepada usaha untuk mendokolonisasi tatanan dunia secara sistematis. Beberapa hal tersebut dilakukan melalui penawaran pendidikan gratis tanpa melihat latar belakang muridnya, dan penekanan kolonialisme terhadap realitas kebudayaan Asia-Afrika, seperti masyarakat Libya yang lebih fasih berbahasa Prancis ketimbang bahasa ibunya, yakni Arab.
Jakarta, 19–23 Mei 2025 — Mahasiswa Program Magister Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada melaksanakan kegiatan field study ke dua lembaga kearsipan dan pustaka nasional, yakni Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas). Kegiatan ini merupakan bagian dari penguatan kapasitas akademik dan metodologis mahasiswa dalam menelusuri sumber-sumber primer dan memahami praktik penelitian arsip serta informasi sejarah secara langsung.
The Internal Kick-Off Meeting for the Re:Sound project, titled “Restituting, Reconnecting, Reimagining Sound Heritage,” held on 14 April 2025, marked the official launch of a multiyear, multi-institutional research initiative focused on critically engaging with colonial-era sound archives. Conducted in a hybrid format—both in person at Universitas Gadjah Mada (UGM) in Yogyakarta and online via Zoom—the meeting gathered scholars, archivists, curators, students, and community-based practitioners from Indonesia, the Netherlands, and across Southeast Asia. Running from 2025 to 2028, Re:Sound seeks to rethink how sonic heritage is collected, curated, interpreted, and made accessible in the postcolonial present.
Pada 19 Mei 2025, dari jam 13.00 hingga 15.00 WIB di Ruang Multimedia lantai kedua dari Gedung Margono, telah terlaksana seminar sejarah yang membahas terkait perkebunan kolonial di Kepulauan Indonesia. Seminar ini dihadiri oleh Dr. Harro Maat, selaku pembicara seminar, dan moderator Dr. Farabi Fakih, M.Hum.
Dr. Harro membahas akan bagaimana perkebunan kolonial merupakan salah satu wujud nyata dalam aspek global dari sejarah agrikultur. Pada konteks Hindia Belanda, pengetahuan terkait budidaya perkebunan kolonial terutama berasal dari berbagai belahan dunia. Sebagai contoh, ia menggunakan studi kasus dari tanaman sawit. Ia menjelaskan akan bagaimana tanaman sawit yang ditanam berasal dari Afrika Barat, dan dibudidayakan secara ekstensif di Sumatera. Selain untuk dikomersialisasikan, melainkan juga dibuat untuk menjadi pelumas mesin uap, lilin, dan sabun.
Peserta mengikuti kegiatan MasterClass di Ruang 314, Gedung Soegondo, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Foto: Adi Setiawan
Ravando Lie, selaku penulis buku dan juga pembicara pertama pada acara bedah buku tersebut, memaparkan materinya. Ravando berfokus kepada penjelasan dinamika dari RS Husada pada periode kolonial Belanda, yang menurutnya penting karena menjadi pondasi yang mengawali sepak terjang RS Husada pada sektor kesehatan. RS Husada pertama kali didirikan pada 28 Desember 1924, yang bermula dari perhimpunan Tionghoa dengan nama Jang Seng Ie yang diprakarsai oleh Dr. Kwa Tjoan Sioe. Perhimpunan ini kemudian berkembang menjadi sebuah poliklinik, hingga menjadi sebuah rumah sakit ketika pembangunan gedungnya dimulai pada 1931 di Jalan Prinsenlaan (sekarang Jalan Raya Mangga Besar).
Dr. Kwa dan pendiriannya RS Husada merupakan tekad nyata masyarakat kulit berwarna di Hindia Belanda untuk memajukan standar kehidupan mereka. Tak hanya itu, Ravando juga menyatakan bahwa institusi tersebut merupakan “pionir dalam perbaikan kesehatan di Batavia”. Hal tersebut dilakukan RS Husada melalui penanganan dan pengobatan pasien yang sangat terjangkau, atau bahkan digratiskan.
Materi kedua kemudian disampaikan oleh pembicara Baha’Uddin M.Hum. Selain mengulas pendekatan penulisan dari buku Ravando, ia juga menekankan akan pentingnya awal abad ke-20 bagi dunia kesehatan. Seiring perubahan kebijakan kesehatan Kolonial Belanda yang berkaitan dengan politik etis, rumah sakit non-pemerintah mulai banyak didirikan oleh masyarakat kulit berwarna. Rumah-rumah sakit ini memiliki tujuan dan nama sama, yakni sebagai lembaga penolong masyarakat. Menarik bila kemudian ingin mengulik lebih dalam kedepannya.
Penulis: Muhammad Fadhlan Hamidan
We are delighted to announce that our collaborative research team at the Department of History, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada, and the Department of Musicology at the University of Amsterdam (UvA) has been awarded a significant grant from the Royal Dutch Research Council (NWO) under the Research into Collections with a Colonial Context program to support our research project, Restituting, Reconnecting, and Reimagining Sound Heritage (Re:Sound).
Re:Sound is led by Dr. Sri Margana (UGM), the Project Leader and Principal Investigator; Dr. MeLê Yamomo (UvA) and Dr. Barbara Titus (UvA), the Co-Applicants; and Dr. Widya Fitria Ningsih (UGM), the Project Coordinator.
Commencing on January 25, 2025, Re:Sound is scheduled to cover a wide range of activities over the next four years. These include a PhD researcher employed at UGM who will study sound archives in Europe, non-academic short-term visiting fellows (VFs: artists, activists, grassroots archivists, cultural entrepreneurs, community representatives) from Indonesia to the Netherlands, consortium meetings, and a workshop and summer school hosted by UGM in Yogyakarta.
We are particularly excited about our collaboration with the Netherlands Institute for Sound & Vision (NISV), which serves as Re:Sound’s Cooperation Partner (CP). Moreover, Re:Sound emphasises the importance of several Associate Partners in Southeast Asia and Europe to build and expand translocal and transcontinental curatorial networks with accompanying communication infrastructures, in which collection curation is collectively managed by both academics and non-academics in source locations and source communities as well as in formerly colonial metropoles.
The potential impact of Re:Sound is profound. Re:Sound contributes to the complication and diversification of the notion of “heritage” by decentering European agency in the understanding, conception and curation of “heritage” through:
Dr. Leonard C. Epafras merupakan pembicara pertama dalam sesi pertama ini. Beliau mengatakan bahwa, kehidupan Ko Ho Sing ini sebagai apa yang dikatakan Carlo Ginzburg dengan sebutan micro history. Menganalisa pengalaman sejarah kecil atau orang biasa untuk menerangkan proses sejarah yang lebih besar. Setelah membaca buku ini, Dr. Epafraz berpendapat bahwa setidaknya terdapat beberapa garis besar yang menonjol. Pertama, pengalaman Ko Ho Sing, di mana transisi komunitas Tionghoa dalam diaspora. Bagaimana latar belakang seperti kampung halaman menjadi penentu identitas. Kemudian, melihat individual dan antagonistik yang mendrong pada nasionalisme baru. Disinilah dinamika itu terbentuk. Pengalaman Ko Ho Sing, menjadi penting dalam pergeseran budaya ini. Karena dalam momen-momen dimana mereka menjadi pedagang yang terkadang sudah tidak fasih berbahasa Tionghoa, kemudian pengalamannya sebagai orang Tionghoa di Jawa dalam memoir seperti tembang macapat, mencerminkan adanya budaya dan struktur sosial yang fleksibel serta ketegangan di dalamnya.
Mengutip Anthony Reid, Dr. Epafras mengemukakan mengenai essential outsiders, bagi kelompok kolonial. Bagaimana orang Tionghoa sebagai The Other tidak hanya di Jawa tetapi di Asia Tenggara, bagaimana orang luar ini dibutuhkan. Kemudian, poin keempat adalah manivestasi mikro kosmopolitanisme. Pengalaman cosmopolitan tetapi dalam mikrokosmos, mendeteksi pengalaman keseharian. Selain itu, Ko Ho Sing, merupakanindividu laten yang penuh potensi, perjuangan, dan frontier. Dalam bisnis candu yang sudah melewati koneksi di Singapura, Shanghai, menunjukkan agensi yang besar.
Pembicara kedua merupakan Dr. Abdul Wahid, menurut beliau buku ini sangat penting sebagai kontribusi historiografi Indonesia dan Tionghoa Indonesia. Karena menyajikan manuskrip langka berisi memoir atau autobiografi seorang pebisnis Tionghoa dalam bentuk macapat Jawa ini luar biasa. Menurutnya, tokoh ini memiliki kesadaran historis dengan menuliskan sejarah hidupnya, ayahnya, bagaimana membuka peluang bisnis dari nol hingga mancanegara. Abdul Wahid juga memiliki beberapa poin penting yang disampaikan. Pertama, buku ini berisi informasi historis. Sebagai sumber alternative selain sumber dari kolonial. Kedua, merupakan tokoh baru. Ko Ho Sing berbeda dengan tokoh lain, dalam budaya, relasi dengan komunitas lain dan ekonominya. Manuskrip ini tidak hanya tentang Ko Ho Sing, namun juga ayahnya. Karena ayahnya terlibat langsung dengan orang Jawa. manuskrip ini memberikan gambaran perspektif masyarakat Tionghoa dalamperistiwa gempa bumi 1867, praktek opium, dan perang jawa.
Dalam manuskrip digambarkan mereka terjepit ketika perang Jawa terjadi. Menjadi target persekusi dan merelakan property mereka. Mencoba mendekatkan pada siapapun untuk memberikan keamanan. Perspektif yang tidak hitam putih sangat diperlukan. Kemudian pada periatiwa Gempa 1867, menjadi ujian berikutnya. Bagaimana relasi masyarakat itu terjadi,momen dimana melihat siapa musuh atau kolega karena sikap filantropi sesame korban. Pengalaman luar biasa Ko Ho Sing yang tercatat dalam manuskrip ini mengenai praktek opium, berawal dari usaha kecil-kecilan yang kemudian menjadi berkembang dan masuk sektor ekonomi baru. Mereka mengalami mobilitas sosial, masuk lingkaran elit Tionghoa, tetapi juga elit kolonial dan Jawa. mereka menjadi mata rantai dari sistem ekstraksi dan eksploitasi.
Sesi kedua yang dimulai dengan pengantar dari dosen Sejarah FIB UGM, Wildan Sena Utama mengenai hibriditas. Beliau memberikan sebuah contoh dalam bukunya Denys Lombard, Nusa Jawa, bagaimana banyak diaspora, persilangan budaya di dalamnya. Dilanjutkan dengan Prof. Sugeng Priyadi sebagai pembicara pertama mengenai banyak teori yang belum tersentuh dalam sejarah yang menimbulkan berbagai pertanyaan. Maka, beliau berpendapat bahwa Filologi menjadi ilmu penting dalam sejarah. Mengutip dari Sartono, beliau mengatakan bahwa meneliti karya babad atau sejenis bisa mengkaji sejarah intelektual, mentalitas, dan ide-ide.
Pembicara kedua dalam sesi ini merupakan Prof. Rustopo, beliau memberikan materi mengenai Wo Gan Kam yang merupakan penggagas atau creator sekaligus pengusaha wayang orang panggung. Sedikit banyak memiliki kesamaan dengan Ko Ho Sing dalam hal mengembangkan bisnis dari kecil-kecilan hingga memasuki sektor ekonomi baru. Ketika dampak industrialisasi dan pembangunan infrastruktur oleh kolonial, maka terjadi perubahan sosial yang beragam. Gan Kam menjawab tantangan perubahan kondisi ini dengan menghadirkan gaya usaha seni sekaligus komersial. Dalam materi ini, kita tahu bahwa melalui seni dan budaya, hibriditas antara Tionghoa dan Jawa membentuk suatu hal baru.
Pembicara ketiga yang dihadirkan merupakan Prof. Bambang Purwanto. Menyambung Prof. Rustopo terkait Gan Kam, beliau menemukan setidaknya tiga sumber terkait, dijelaskan dalam iklan di abad ke-19, Gan Kam seorang penjual sepatu, maka menurutnya Gan Kam bukanlah pedagang kecil. Iklan berikutnya yang ditemukan pada tahun 1902, berisi teh produksi asal Jepang dan Fromosa atau Taiwan sekarang dijual di Surakarta sebagai pengimpor. Kemudian iklan ketiga pada tahun 1924 dinyatakan bangkrut, sebelum krisis. Prof. Bambang melihat sejarah dalam kehidupan sehari-hari, karena yang disampaikan Prof. Rustopo dinamika berlangsung pada konteks kehidupan sehari-hari. Hibriditas memiliki satu unsur yang sangat penting dalam kontestasi. Apakah dalam konteks ini akulturasi adalah bagian hibriditas?
Konsep hibriditas awalnya muncul dalam konteks kolonial dan konsep Peranakan banyak disalahartikan. Secara historis, hanya untuk oranng cina yang menjadi muslim. Problem kedua, peranakan adalah campuran. Menurut Prof. Bambang, cara terbaik melihat hibriditas adalah dengan menempatkan mereka dalam konteks sehari-hari dapat melalui seni kebudayaan atau juga kuliner. Bukan berbicara tentang ketamakan, tetapi juga ada unsur kemanusiaan, insight yang harus kita perhatikan.
Penulis: Fatimah Azzahra Amalia
Diskusi ini secara resmi dibuka oleh Bapak Dr. Abdul Wahid, M.A., selaku Kepala Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM. Dalam sambutannya, beliau menekankan pentingnya kajian sejarah yang berbasis pada kerja sama akademik antara Indonesia dan Belanda guna mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai periode dekolonisasi dan dampaknya bagi kedua negara.
Acara ini terdiri dari dua sesi panel presentasi yang membahas penelitian-penelitian terbaru mengenai sejarah perang kemerdekaan Indonesia dan berbagai dinamika politik serta sosial yang menyertainya. Panel pertama diisi oleh Martijn Eickhoff dengan presentasi bertajuk Over de Grens: Beyond the Pale (Melewati Batas). Dalam paparannya, Eickhoff mengulas berbagai perdebatan akademik di Belanda mengenai Perang Kemerdekaan Indonesia dari tahun 1950 hingga 2010, upaya advokasi penelitian sejarah yang mendapat dukungan dari pemerintah Belanda, serta kesimpulan utama dari penelitian yang menunjukkan bahwa kekerasan ekstrem oleh tentara Belanda selama perang tersebut tidak dapat lagi dianggap sebagai insiden yang terisolasi.
Panel kedua disampaikan oleh Dr. Abdul Wahid, M.A., dan Dr. Yulianti, membahas hasil penelitian kolaboratif antara Universitas Gadjah Mada dan KITLV mengenai Proklamasi Kemerdekaan, Revolusi, dan Perang di Indonesia pada periode 1945-1949. Diskusi dalam panel ini menyoroti berbagai pendekatan historiografi yang digunakan dalam penelitian tersebut, tantangan yang dihadapi dalam menggabungkan perspektif Indonesia dan Belanda, serta kontribusi penelitian ini dalam membentuk generasi baru sejarawan Indonesia yang mampu terlibat dalam diskursus sejarah global.
Selama diskusi berlangsung, para peserta aktif mengajukan berbagai pertanyaan dan tanggapan yang memperkaya pemahaman mengenai tema yang dibahas. Beberapa topik yang banyak disoroti adalah bagaimana negara-negara kolonial mempertanggungjawabkan tindakan militernya di masa lalu, dampak kekerasan terhadap masyarakat Indonesia, serta bagaimana historiografi Indonesia dan Belanda dapat terus berkembang melalui kolaborasi akademik yang lebih erat.
Acara ini ditutup dengan pernyataan dari moderator yang menyimpulkan bahwa penelitian sejarah tidak hanya bertujuan untuk menggali fakta-fakta masa lalu, tetapi juga berkontribusi dalam membangun pemahaman yang lebih adil dan berimbang mengenai sejarah bersama antara Indonesia dan Belanda. Para peserta diharapkan dapat terus mengembangkan diskusi akademik ini dalam berbagai forum lain guna memperkaya wacana sejarah dekolonisasi Indonesia.
Penulis: Muhammad Faisal Adnan