Departemen Sejarah FIB UGM mengundang Prof. Martin van Bruinessen, seorang professor emeritus Studi Perbandingan Komunitas Islam Kontemporer Universitas Utrecht dalam sebuah public lecture yang diadakan pada Jum’at (31/6/2024). Kegiatan ini dilaksanakan di Ruang Multimedia Gedung Margono sejak pukul 09.00-11.00 WIB. Selain terbuka untuk umum, kuliah ini juga menjadi kelas wajib bagi mahasiswa Departemen Sejarah UGM yang mengikuti mata kuliah Sejarah Indonesia Abad ke-16. Sebagai dosen pengampu mata kuliah tersebut, Dr. Yulianti, B.A., M.A. bertugas memoderatori jalannya acara.
Materi kuliah bertajuk Peranan Tarekat dalam Proses Islamisasi Nusantara: Dari Amalan Perseorangan sampai ke Wadah untuk Aksi Bersama disampaikan Prof. Martin dengan menggunakan bahasa Indonesia yang lancar. Dalam presentasinya itu, ia menceritakan awal mula kemunculan tarekat di Indonesia yang sebelumnya merupakan amalan eksklusif bagi para elit hingga berubah menjadi media resistensi terhadap penjajahan pada abad ke-19. Menurutnya, kemunculan tarekat di Indonesia pada tahap mula-mula tidak bisa dipisahkan dari proses islamisasi itu sendiri. Ia menjelaskan bahwa sebenarnya Islam sudah ada di Indonesia jauh berabad-abad sebelum masa peralihan agama terjadi pada abad ke-14 dan ke-15. Hal itu ditunjukkan oleh keberadaan para pedagang muslim dari Arab, Persia, India dan Cina yang menetap di berbagai kota pelabuhan, seperti Aceh, Melaka dan Banten. Mereka mengamalkan ajaran Islam, namun ajaran tersebut tidak terlalu berdampak kepada masyarakat Bumiputera. Lantas, Prof. Martin melontarkan pertanyaan, jika Islam sudah ada sejak lama, mengapa masyarakat Bumiputera baru menerima Islam pada abad ke-14 dan ke-15? Hal itu dikarenakan masyarakat Bumiputera yang berubah atau karakter Islam yang mereka hadapi itulah yang berubah?
Prof. Martin berhipotesis bahwa perubahan karakter Islam itulah yang membuat Islam dapat diterima oleh masyarakat Bumiputera pada abad ke-14 dan ke-15. Dalam hal ini, kemunculan tarekat di dunia Arab, Persia, dan India yang terjadi tidak jauh sebelum islamisasi terjadi di Indonesia telah mengubah wajah Islam yang hadir di berbagai kota pelabuhan di Indonesia. Amalan tarekat yang menekankan bacaan-bacaan, doa, wirid, dan zikir dinilai sangat mirip dengan mantra dan jampi-jampi seperti yang ada dalam agama Hindu Jawa sebelumnya. Hal tersebut memberi kesan yang lebih cocok dengan kebutuhan masyarakat Bumiputera ketika itu. Kemudian, Prof. Martin juga menyadur pendapat Merle Calvin Ricklefs dalam artikelnya Six Centuries of Islamization in Java (1974) yang mengatakan bahwa ketika orang Jawa menerima Islam, bukan berarti mereka sepenuhnya membuang agama sebelumnya. Justru, Islam yang mereka terima menjadi tambahan kekayaan amalan dan kekuatan spiritual.
“Di Babad Tanah Jawi disebut orang Jawa pada zaman itu, zaman peralihan, orang Jawa sangat tertarik pada kesaktian dan kekebalan, tenaga dalam, dsb. Mereka mempelajari Islam karena itu bisa menimbulkan kekebalan dan kesaktian. (Itu) tidak menggantikan kesaktian yang pernah mereka punya dari amalan-amalan Hindu Jawa, tetapi mungkin dianggap kesaktian itu lebih hebat daripada yang ada dulu atau sekurang-kurangnya tambahan,” tutur Prof. Martin.
Walaupun tidak ada bukti yang betul-betul bisa mendukungnya, Prof. Martin berargumen bahwa boleh jadi Islam baru menjadi menarik bagi masyarakat Bumiputera setelah adanya tarekat. Ia juga menjelaskan bahwa pada tahap mula-mula, sekira abad ke-16, tarekat masih menjadi sesuatu yang diamalkan secara perseorangan atau oleh kelompok kecil dari kalangan elit. Lantas, karena amalan tarekat dianggap begitu hebat, para elit berupaya memonopolisasi tarekat. Hal itu didasarkan pada alasan bahwa jika masyarakat awam dapat menguasai teraket dikhawatirkan mereka akan melakukan pemberontakan. Baru memasuki abad ke-19, seiring dengan runtuhnya kekuasaan kongsi dagang Belanda–VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie), tarekat mulai melibatkan masyarakat awam. Hal itu dikarenakan sebagian dari kerajaan lokal telah kehilangan otoritasnya di bawah pemerintah kolonial. Pada masa itu, terjadi pergeseran skala besar dalam konteks tarekat. Mulanya, tarekat yang hanya berkembang di keraton lantas bergeser ke periferi ketika para pemuka agama mulai mendirikan pesantren-pesantren kecil di wilayah hutan (pedalaman). Pada akhirnya, tarekat berkembang di kalangan masyarakat awam. Perkembangan tersebut tidak luput dari perannya sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik penjajahan.
Ada beberapa peristiwa yang menunjukkan pengaruh tarekat terhadap gerakan-gerakan resistensi yang terjadi pada abad ke-19. Setidaknya, indikasi pertama kali tarekat digunakan sebagai aksi massa dapat ditelusuri dalam Perang Menteng di Palembang pada 1819. Lalu, ada juga kelompok tarekat Sammaniyah di Banjarmasin yang melafalkan zikir dengan keras untuk meningkatkan keberanian mereka melawan pemerintah kolonial pada 1860. Selain itu, dalam magnum opus-nya, Sartono Kartodirdjo mengungkap bahwa kalangan tarekat juga terlibat dalam pemberontakan petani di Banten pada 1888.
Rekaman lengkap untuk Public Lecture ini dapat dilihat pada video berikut:
Penulis: Lenna Aurelia Amalia