Pada Kamis (18/11) kemarin, Departemen Sejarah UGM kedatangan tamu seorang sejarawan dari Colby College USA, Dr. Arnout Van der Meer. Kali ini, Dr. Arnout secara virtual hadir dalam acara yang bertajuk Diskusi Buku Performing Power: Cultural Hegemony, Identity, and Resistance in Colonial Indonesia. Di acara yang diadakan via zoom meeting sekaligus disiarkan langsung di kanal YouTube Departemen Sejarah UGM ini, Dr. Arnout sebagai penulis buku ditemani Dr. Sri Margana sebagai pembahasnya. Selain itu, acara yang dipandu oleh Wildan Sena Utama ini dimulai pada pukul 09.00 WIB dan diikuti oleh sekitar 80 peserta dari civitas akademik maupun umum.
berita
Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM mengadakan sebuah diskusi daring atau webinar pada hari Jumat, 12 November 2021 melalui Zoom Meeting. Webinar tersebut berjudul “Provenance Research Collaboration and Restitution of Colonial Objects” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Kolaborasi Penelitian Asal dan Pengembalian Benda-benda Kolonial”. Webinar yang dilaksanakan pukul 16.00-18.00 WIB atau 10.00-12.00 AM CET ini diperuntukkan khusus bagi mahasiswa tingkat S2 dan S3 Sejarah UGM. Dr. Sri Margana, dosen Sejarah UGM, dan Klaas Stutje, PhD, sejarawan PPROCE, the Netherlands, menjadi pembicara dan pembahas dalam webinar ini. Selain itu, diskusi daring ini juga turut menghadirkan Yulianti, sebagai pembawa acara.
Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah (BKMS) UGM telah sukses melaksanakan Opening Ceremony History Week 2021 pada hari Sabtu, 2 Oktober 2021. Opening Ceremony tersebut dilaksanakan secara online melalui platform Zoom Meeting dan siaran langsung di kanal Youtube BKMS UGM. History Week tahun ini mengusung tema, “Cakrawala Medis dalam Catatan Sejarah: Wajah Rekonstruksi Historiografi Kesehatan di Indonesia”. Acara Opening Ceremony History Week 2021 ini dipandu oleh Egit Andre Kelana dan Faradeva Fathia Kurminta, mahasiswa Sejarah UGM.
Harvard University Asia Center mengadakan sebuah seri diskusi bertajuk Southeast Asia Lecture Series. Selasa, 28 September 2021, salah satu Dosen Sejarah Universitas Gadjah Mada, Farabi Fakih, menjadi narasumber dari diskusi tersebut. Seri diskusi pada hari itu mengambil judul The Rise of Managerial State in Post-Independence Indonesia (1950-1965). Diskusi dimulai pada pukul 10.00 EST atau 21.00 WIB melalui platform zoom dengan diikuti oleh 56 peserta. Farabi memaparkan ringkasan dari bukunya yang berjudul Authoritarian Modernization in Indonesia’s Early Independence Period: The Foundation of the New Order State (1950-1965). Buku tersebut membahas tentang modernisasi otoriter di bawah kekuasaan Soekarno.
Setelah hampir satu tahun mengalami pandemi, metode pembelajaran virtual seharusnya tak lagi menghalangi. Hal ini dibuktikan oleh Departemen Sejarah UGM yang sukses mengadakan virtual summer school bertajuk “The 3rd International Summer School- Resilience and Control: Transmissible Disease and the Rise of Modern Society.” Virtual Summer School pertama yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Budaya UGM sejak pandemi ini berlangsung pada 2-22 Agustus 2021. Acara ini dibuka oleh Kepala Kantor Urusan Internasional UGM, I Made Andi Arsana, S.T., M.Sc, Ph.D yang kemudian dilanjutkan oleh sambutan pembuka dari perwakilan universitas rekanan, Prof. Dr. Kate McGregor dari Melbourne University Australia, dan Kepala Departemen Sejarah FIB UGM, Dr. Abdul Wahid.
“Peran penting film dokumenter pada masa pendudukan Jepang di Indonesia” menjadi topik bahasan utama dalam webinar yang diselenggarakan oleh Departemen Sejarah FIB UGM pada Rabu, 31 Maret 2021. Dalam diskusi webinar yang bertajuk “Di Bawah Terang ‘Cahaya Asia’: Film Dokumenter di Masa Pendudukan Jepang di Indonesia 1942-1945” ini sukses dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan dan institusi. Dalam diskusi webinar ini hadir Dr. Budi Irawanto sebagai pembicara dan Dr. Abdul Wahid sebagai pembahas. Kemudian untuk mengatur jalannya diskusi yang berlangsung selama 1 jam 30 menit mulai pukul 15.00 hingga pukul 16.30 ini maka turut hadir Julianto Ibrahim, M. Hum selaku moderator webinar.
Pada 23 Maret 2021, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada baru saja mengadakan acara peluncuran buku persembahan bagi Prof. Dr. Djoko Suryo dan Dr. J. Thomas Lindblad. Acara peluncuran buku yang berjudul, “Eksploitasi, Modernisasi, dan Pembangunan: Perubahan Sosial Ekonomi Pedesaan Jawa pada Kolonial dan Post-Kolonial” ini dilaksanakan melalui daring dan juga luring dengan mengambil tempat di ruang sidang pimpinan. Pada acara peluncuran buku ini, Prof. Dr. Djoko Suryo yang ditemani oleh istri turut hadir di ruang sidang pimpinan bersama dengan para dosen Departemen Sejarah FIB UGM yang diwakili oleh Dr. Abdul Wahid, M. Hum, M. Phil., Dr. Farabi Fakih, M. Phil., Dr. Sri Margana, M. Phil., dan Dr. Mutiah Amini, M. Hum. Kemudian disela-sela acara peluncuran buku ini juga dilakukan kegiatan sharing dan temu kangen antar dosen lain yang selama masa pandemi sulit untuk melakukan pertemuan tatap muka. (Adit)
Kesempatan pertama sebagai pembicara diberikan kepada Ibu Djuwariyah yang berbagi pengalamannya tentang masa revolusi. Sebagai saksi sejarah revolusi yang lahir pada 1933 ini, pada saat ia berusia 15 tahun, tepatnya pada tahun 1948, ia menjadi anggota palang merah yang merangkap sebagai kurir para prajurit revolusi di Yogyakarta. Kini, dengan usianya yang sudah mencapai 86 tahun, ia masih dapat bercerita dengan detil dan runtut tentang keadaan yang ia alami pada masa revolusi sejak awal mula ia ikut terlibat dalam perjuangan hingga berakhirnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Selain itu, ia juga pernah terlibat dalam palang merah yang bertugas selama masa DI-TII di Bumiayu. Bagi Ibu Dju, panggilan akrabnya, perjuangan selama DI-TII lebih susah karena ‘musuh’ yang mereka hadapi sulit dibedakan dengan orang Indonesia lainnya. Jika Djuwariyah mewakili generasi awal perjuangan revolusi Indonesia, Galuh Ambar Sasi berbicara sebagai generasi kedua sebagai peneliti sejarah independen. Alumni dari program S2 Sejarah UGM ini memiliki ketertarikan terhadap reaksi perempuan terhadap peristiwa proklamasi dan peran mereka pada masa revolusi. Generesi ketiga yang diundang adalah Shinta Dwi Nugraeni, seorang siswi SMA 2 Bantul. Shinta yang sebelumnya memenangkan juara pertama dalam lomba esai Lawatan Sejarah Nasional 2019 menceritakan pengalamannya selama belajar sejarah di sekolah. Bagi Shinta, posisi perempuan selama masa revolusi tidak digambarkan secara signifikan, baik itu dalam buku paket apalagi dalam buku LKS yang digunakan di sekolah. Tidak heran, komentar Shinta, bahwa sejarah termasuk pelajaran yang paling membosankan bagi para siswa lainnya.
Setelah ketiga pembicara menyampaikan pengalamannya, Dr. Mutiah Amini yang didapuk sebagai pembahas yang juga memiliki ketertarikan pada sejarah perempuan, memberikan respon dan komentar kepada apa yang disampaikan ketiga pembicara tersebut, terutama tentang pengalaman Djuwariyah selama revolusi yang akan memperkaya khazanah sejarah revolusi dari perspektif perempuan. Selain itu, beliau juga berbicara mengenai topik yang lebih umum, yaitu pentingnya perspektif perempuan dalam sejarah. Baginya, banyak periode sejarah yang terlihat minim arsip tetapi justru bisa dikaji lebih jauh. Penggunaan sumber-sumber yang bersifat simbolik apabila dianalisis lebih jauh akan menghasilkan narasi sejarah yang sangat kaya.
Dengan menghadirkan pembicara lintas generasi, diskusi ini dengan sukses mengajarkan cara bagaimana untuk memaknai peran perempuan selama masa revolusi. [sej/habibi]
Workshop tersebut diisi oleh 10 pembicara yang dibagi ke dalam tiga sesi. Sesi pertama diawali oleh pemaparan tentang etnomusikologi dari Dr. Barbara Titus. Sebagai orang yang kini menempati posisi mendiang Jaap Kunst sebagai kepala bidang Etnomusikologi di Universiteit van Amsterdam, ia tidak saja menjelaskan tentang peninggalan Jaap Kunst, tetapi juga mengkritisi dan memaparkan peluang kajian etnomusikologi ke depannya. Satu panel dengan Barbara adalah Dr. Citra Aryandari beserta tiga mahasiswanya dari ISI Yogyakarta. Mereka menceritakan alasan ketertarikan masing-masing untuk mengkaji etnomusikologi.
Sesi kedua diisi oleh tiga orang, yaitu RM Surtihadi, M.Sn., Indra Fibiona, S.S., dan Dr. Sri Margana. Surtihadi yang juga merupakan mahasiswa program doktoral ISI Yogyakarta menjelaskan tentang percampuran musik Jawa dan Eropa di Keraton Yogyakarta, sementara Indra Fibiona dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DI Yogyakarta menjelaskan biografi R.M. Djajadipoera yang semasa hidupnya sering berinteraksi dengan Jaap Kunst ketika berkunjung ke Yogyakarta. Djajadipoera adalah salah satu tokoh musik dan tari di Keraton Yogyakarta. Presentasi Sri Margana dari Departemen Sejarah UGM lebih fokus pada penelitiannya tentang arsip korespondensi Djajadipoera dengan Jaap Kunst. Selain dengan melihat langsung pertunjukan musik, Jaap Kunst juga belajar musik melalui surat-menyurat dengan banyak ahli musik dan dua tokoh yang paling sering ia surati adalah Mangkunegoro VII dan Djajadipoera.
Selanjutnya, sesi ketiga diisi oleh Margi Ariyanti dan Henk Mak van Dijk. Margi Ariyanti merupakan seorang mahasiswa program pascasarjana bidang Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (PSPSR) UGM, sedangkan Henk Mak van Dijk dari Music Conservatory of Rotterdam & the Royal Conservatory di Den Haag. Dalam kesempatan tersebut, Margi berupaya membuat perbandingan antara komposer Indo terkenal, Constant van de Wall, dan Ki Hadjar Dewantara. Sementara itu, Henk yang juga mengajar di Muziek Academie, Den Haag, berbicara lebih lanjut mengenai karier salah satu komposer paling sukses tersebut. Pada tahun 2007, ia juga telah menerbitkan buku biografi van de Wall. Selain de Wall, Henk juga menyebut beberapa composer yang sama seperti de Wall dalam mencampur unsur-unsur musik Jawa ke musik Eropa yang diantaranya adalah composer perempuan kelahiran Yogyakarta, Linda Bandara.
Kesepuluh pembicara di atas tidak hanya berbicara mengenai Jaap Kunst seorang, melainkan mengenai etnomusikologi secara lebih luas. Hal ini sesuai dengan tujuan acara ini yang ingin mengembangkan, bukan hanya membuka, warisan Jaap Kunst. Selain paparan syarat pengetahuan, para peserta workshop semakin dibuat tertarik karena acara ini ditutup oleh lantunan piano Henk yang membawakan komposisi karya Paul Seeling, van de Wall, dan Linda Bandara. [sej/habibi]
Pada 22 Juli – 2 Agustus 2019, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada baru saja menyelenggarakan 2nd International Summer School dengan mengusung tema “Becoming a Transnational Scholar of Southeast Asia”. Kegiatan ini diikuti oleh kurang lebih 35 peserta yang berasal dari berbagai belahan dunia. Keterlibatan para peserta dengan latar belakang yang berbeda ini menjadi nilai tambah tersendiri bagi kegiatan ini. Selama kegiatan peserta bisa saling bertukar informasi mengenai sejarah di negara asalnya dengan sudut pandang yang beragam.
Kegiatan yang diselenggarakan selama kurang lebih dua minggu ini mendatangkan banyak para ahli yang tidak hanya berasal dari Indonesia, namun juga Australia, Jepang, dan Belanda. Hari pertama diawali dengan sambutan yang diberikan oleh ketua program sekaligus sekretaris S2 Ilmu Sejarah UGM, Dr. Farabi Fakih dan Prof. Dr. Kathrine Mc Gregor, perwakilan universitas mitra program summer school. Selanjutnya secara resmi program dibuka oleh Wakil Dekan I FIB UGM, Dr. Nur Saktiningrum.
Prof. Dr. Danny Wong Tze Ken dari University of Malaya mengawali pemberian materi program summer school dengan tema Chinese in Southeast Asia in a Transnational Context. Kegiatan di kelas kemudian dilanjutkan dengan materi dari Prof. Dr. Jos Gommans dari Leiden University dengan tema Provincializing Europe – Globalizing (Southeast) Asia. Setiap harinya para peserta akan mengikuti kegiatan di dalam maupun luar kelas dengan tema-tema materi yang relevan dengan tema program. Kegiatan kuliah lapangan sendiri diselengarakan pada 27-28 Juli dengan berkunjung ke enam tempat di sekitar Yogyakarta, yaitu Cemeti Institute for Art and Society, Kampung Ketandan dan Klenteng Fuk Ling Miau, Mendut Monestry, dan Pantai Watukodok. Selain itu, peserta juga berkesempatran melakukan riset kelompok dengan tema yang dipilih dan mempresentasikannya di akhir program.
Program summer school kemudian ditutup secara resmi oleh Kepala Departemen Sejarah, Dr. Sri Margana, M. Phil. dengan membagikan seluruh sertifikat peserta dan panitia secara bergiliran. Dengan terselenggaranya kegiatan summer school ini, para mahasiswa di bidang sejarah dan ilmu sosial diharapkan dapat secara kritis terlibat dengan fenomena transnasional dengan menganalisis manifestasinya di berbagai belahan dunia. (Sej/Lesta; Utami)