Kajian sejarah perkotaan menjadi menarik akhir-akhir ini. Kota pada bagian tertentu mempunyai roh. Ia bisa menjadi cerminan, atau pun perwujudan visi. Meski begitu kota pun menyimpan banyak masalah yang perlu untuk dikaji lebih mendalam : pemukiman kumuh, penataan kota, penduduk, dan masalah lingkungan perkotaan yang kerap muncul. Melihat prospek kajian sejarah perkotaan yang bagus dan relevan dengan perkembangan zaman. Departemen Sejarah FIB UGM, pada Senin (16/01/2017) mengadakan kuliah umum dengan tema “Land, Lumber, Labor, and Excrement : The Circular Economy of Nineteenth Century Tokyo Tokyo Slums’. Kuliah umum mengundang pemateri dari Georgetown University, yakni Prof. Jordan Sand, bertempat di Gedung Purbatjaraka, lantai I, FIB UGM.
Prof. Jordan Sand mengampu mata kuliah sejarah Jepang di Georgetown University. Maka tidak heran sebagian besar dari riset beliau mengambil ‘negeri matahari terbit’ sebagai batas spasial. Selain mengajar sejarah Jepang kontemporer dan wilayah Asia Timur lainnya, ia juga menaruh minat pada studi tentang sejarah perkotaan dan makanan. Minat sejarah perkotaan beliau didapat dari latar belakang pendidikannya. Ia mendapat gelar Master di bidang sejarah Arsitektur dari Universitas Tokyo. Sementara gelar Doktor diperolehnya dari Colombia University. Catatan risetnya yang paling mutakhir difokuskan pada tema urbanisme, arsitektur, budaya material dan kehidupan sehari-hari. Risetnya yang paling diminati adalah tentang perumahan di Jepang, yakni Rumah dan Rumah Modern di Jepang (Harvard : 2004). Ia mencoba mengeksplorasi westernisasi ruang –domestik keluarga- yang terjadi pada rumah-rumah yang ada di Jepang pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Ia melihat ruang-ruang yang berubah gaya tersebut ternyata memberi pengaruh pada watak-watak keluarga yang ada di Jepang.
Akan tetapi presetasinya di FIB UGM saat itu ia memaparkan tentang wilayah kumuh perkotaan di Tokyo. Sebagaimana lazimnya kota di Asia kala itu, Tokyo pada awal abad 20 mengalami benturan keras dengan digagasnya restorasi Meiji pada rentang waktu sebelumnya. Meski begitu Tokyo awal abad 20 terlihat janggal. Ibu kota itu mempunyai masalah serius dengan mewabahnya perumahan informal yang banyak. Perumahan yang tidak direncanakan dengan baik itu, adalah rumah-rumah kecil yang rata-rata ditinggali oleh orang-orang kelas menegah ke bawah. Bahkan tidak sedikit pula gubuk-gubuk yang ikut memadati kota itu. Tentu ini menjadi permasalahan serius dalam perspektif pemerintah Jepang. Karena pada waktu yang sama, pemerintah sedang menggagas ide tentang perumahan real estate. Itu pun merupakan peluang yang menjanjikan. Kemudian yang menjadi masalah, formalisasi real estate yang akan dibangun, harus menelan wilayah kumuh yang diisi oleh rumah-rumah kecil dan gubuk. Prof. Jordan melihat itu sebagai pertarungan. Meski begitu wacana itu, berakhir dengan tidak terlalu buruk. Pendirian real estate itu harus mengusung rencana yang matang. Mempertimbangkan tentang skala dan area untuk mewujudkan perumahan yang ramah -dan mungkin manusiawi- dengan menata ulang kawasan perkotaan ibu kota itu. Pada kasus Tokyo, jika ditarik relevansinya pada konteks sekarang, membantu untuk mempertimbangkan kembali pemukiman yang tidak direncanakan dengan matang, yang jumlahnya tidak sedikit. Dan pada sisi yang lain juga untuk mengatasinya. (Sej/Bagus)