• UGM
  • FIB
  • Webmail
  • Academic Portal
  • Indonesia
    • Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Departemen Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Tentang
    • Departemen
    • Staf
    • Kontak
  • Akademik
    • Program Sarjana
      • Mata Kuliah Program Sarjana
      • Intended Learning Outcomes
    • Program Magister
      • Mata Kuliah Program Magister
    • Summer School
    • MBKM
  • Kabar
    • Berita
    • Agenda
  • Penelitian
  • Publikasi
    • Lembaran Sejarah
    • Histma
  • Alumni
    • Kasagama
    • Career Development Center
  • Beranda
  • berita
  • Apakah Orde Baru Bandit yang Baik?

Apakah Orde Baru Bandit yang Baik?

  • berita
  • 20 Februari 2017, 10.00
  • Oleh: admin
  • 0

Orde Baru menjadi materi penting dalam kajian sejarah Indonesia kontemporer. Bukan saja karena lama waktu kekuasaan –yakni 32 tahun. Akan tetapi Orde Baru memberikan satu warisan sejarah, yang sampai sekarang masih dirasakan. Bahkan pada beberapa kasus warisannya malah diproduksi kembali pada masa reformasi –setelah Orde Baru tumbang. Meski begitu yang menjadi menarik bagi peneliti adalah bagaimana skema negara Orde Baru bekerja. Sejarawan UGM, Farabi Fakih, dalam disertasinya menyebut Orde Baru adalah Managerial State. Suatu terminologi yang menunjukan bahwa Orde Baru bekerja layaknya korporasi.

Sebagai upaya menyediakan ruang dialektika perihal tema tersebut, Departemen Sejarah FIB UGM mengadakan kuliah umum dengan tema “Benevolent bandits? Interest, institutions, and ideology in New Order”. Acara dilaksanakan pada Jumat (17/2/2017) di ruang multimedia lantai II, Gedung Margono FIB UGM. Prof. David Henley dari Universitas Leiden menjadi pemateri tunggal.

Prof. David Henley saat ini mengajar sejarah Indonesia kontemporer di Universitas Leiden. Beliau memfokuskan kajian dan risetnya pada sejarah politik dan geografi Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Sementara untuk minat khusus di Indonesia, ia tertarik mengkaji wilayah Sulawesi. Perihal wilayah Sulawesi, risetnya mengambil tema tentang nasionalisme dan kedaerahan, sejarah lingkungan, demografi, serta pertanian. Sementara untuk batas temporal waktu adalah saat ekspansi kolonial. Di sisi lain, penelitiann terbarunya adalah tentang sejarah ekonomi komparatif Asia Tenggara dan Afrika Sub-Sahara, dan studi tentang proses pembentukan negara di Asia Tenggara. Selain tercatat sebagai pengajar di Universitas Leiden, ia juga peneliti di Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV) pada tahun 1993-2011. Pernah juga mengajar di Asian Studies, Griffith University, Brisbane pada 1991-1992.

Selain mengajar dan meneliti, Prof. David Henley adalah anggota dewan penasihat redaksi, International Journal of Studies Indonesia. Anggota dewan penasihat CHATSEA. Sebagai anggota komite penasihat, Van Vollenhoven Instituut en Adatrechtfonds van de Vereniging KITLV. Selain itu, beliau juga merupakan anggota dewan penasihat redaksi  Moussons: Sosial Science Research di Asia Tenggara dari 1999-sekarang. Di samping itu ia pernah menjadi kontributor dan editor di Indonesian Environmental History Newsletter.

Benevolent Bandits?

Saat itu Prof. David Henley memulai presentasi dengan sebuah pertanyaan. Apakah Orde Baru bandit yang baik? Dalam risetnya ia menggunakan perspektif politik dengan meminjam konsep stationary bandit. Secara sederhana stationary bandit adalah elit politik (pusat) yang menggunakan kekuasaannya dengan tujuan kurang benar –yakni memperkuat jaringan dan kemudian memenuhi kepentingan pribadi- dengan cara membentuk kelompok di daerah lain suatu negara (dan pada beberapa kasus juga oligarki -keluarga). Konsep itu diperkenalkan oleh Mancur Olson dalam bukunya Power and Prosperity. Mancur Olson memilih Rusia awal 1990-an dan Cina pada awal abad-20 sebagai wilayah sampel.

Pemilihan itu didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, Rusia -sebelum terjadi transformasi politik- mempunyai ciri pemerintahan yang diktator dan represif. Moskow mengambil kekayaan daerah kemudian dinikmati elit pusat. Kedua, baik Cina atau pun Rusia ternyata tidak mampu menghentikan aktivitas pengurasan berlebih yang dilakukan oleh oligarki elit lokal. Ketiga, transformasi politik di kedua negara yang berlangsung cepat sekaligus tidak terarah dimanfaatkan oleh oligarki lokal dan pusat untuk memperkaya diri mereka dan kelompoknya. Keempat, setelah terjadi perubahan politik, oligarki elit politik di daerah tetap melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap kekayaan alam daerah.

Tentu saja apa yang terjadi di Rusia dan Cina berbeda dengan keadaan di Indonesia. Di Indonesia, Orde Baru merampok kekayaan rakyatnya sendiri dengan menggunakan cara monopoli. Hal itu berkaitan dengan monopoli yang dilakukan keluarga Soeharto saat itu. Anak-anak Soeharto dibuatkan perusahaan masing-masing dan bergerak di bidang tertentu. Sementara di bidang lain pun, urusan itu dipegang oleh kroni Soeharto, salah satunya adalah Soedono Salim, kata David Hanley. Sementara itu elit lokal berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat.

Menurut David Hanley, dengan keluarga Soeharto yang bekerja layaknya bandit, saat itu sebenarnya telah terjadi disorganisasi dan sebuah budaya korupsi yang kompetitif sebagai implikasinya. Akan tetapi, di luar dari itu semua, untuk menjawab pertanyaan, apakah Orde Baru adalah bandit yang baik? David Hanley tidak terburu-buru untuk menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’. Sepertinya jawaban itu dikembalikan pada penilaian masing-masing. Meski begitu, menurut David Henley, Orde Baru adalah contoh yang bagus dari  implementasi stationary bandit. Karena pada saat yang sama, berbarengan dengan praktik monopoli, mereka juga turut memompa pertumbuhan ekonomi –menjadi semakin baik. (Sej/Bagus)

Tinggalkan Komentar Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

Berita Terakhir

  • Call for Applications: PhD Programme in Sound Heritage Studies
  • Dr. Sadiah Boonstra’s Public Lecture: Rethinking the Future of Repatriated Objects
  • The Research Project “Restituting, Reconnecting, and Reimagining Sound Heritage (Re:Sound)” Receives Funding from the Royal Dutch Research Council (NWO) for 2025-2028
  • Launch of New Research Project on Lombok Heritage: “Dismantling Colonial Knowledge Production and Recovering Lost Histories and Memories” (2025-2028)
  • Menelusuri Hibriditas Budaya Tionghoa-Jawa dalam Sejarah Indonesia

Arsip

  • Maret 2025
  • Februari 2025
  • Desember 2024
  • November 2024
  • Oktober 2024
  • September 2024
  • Agustus 2024
  • Juli 2024
  • Juni 2024
  • Mei 2024
  • April 2024
  • Maret 2024
  • Februari 2024
  • Januari 2024
  • Desember 2023
  • November 2023
  • Oktober 2023
  • September 2023
  • Agustus 2023
  • Juli 2023
  • Mei 2023
  • Februari 2023
  • Januari 2023
  • November 2022
  • Oktober 2022
  • September 2022
  • Agustus 2022
  • Juni 2022
  • Mei 2022
  • Desember 2021
  • November 2021
  • Oktober 2021
  • September 2021
  • Agustus 2021
  • Mei 2021
  • April 2021
  • Maret 2021
  • November 2020
  • Agustus 2019
  • Maret 2019
  • Desember 2018
  • November 2018
  • September 2018
  • Mei 2018
  • September 2017
  • Juli 2017
  • Mei 2017
  • April 2017
  • Maret 2017
  • Februari 2017
  • Januari 2017

Kategori

  • agenda
  • alumni
  • beasiswa
  • berita
  • lowongan
  • penelitian
  • pengumuman
  • selisik
  • summer school
Universitas Gadjah Mada

Departemen Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Gadjah Mada

Gedung Soegondo, Lantai 3
Jl. Sosiohumaniora, Bulaksumur Yogyakarta
  +62 274 513 096
+62 813 1444 4274
  sejarah@ugm.ac.id

Akademik

  • Program Sarjana
  • Program Magister

Berita & Agenda

  • Berita
  • Agenda

Tentang

  • Staf
  • Departemen
  • Fakultas
  • UGM

Ikuti Kami

Sejarah UGM

Sejarah UGM

Sejarah UGM

© 2025 | Departemen Sejarah UGM

BeritaAgenda

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY