Setelah hampir satu tahun mengalami pandemi, metode pembelajaran virtual seharusnya tak lagi menghalangi. Hal ini dibuktikan oleh Departemen Sejarah UGM yang sukses mengadakan virtual summer school bertajuk “The 3rd International Summer School- Resilience and Control: Transmissible Disease and the Rise of Modern Society.” Virtual Summer School pertama yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Budaya UGM sejak pandemi ini berlangsung pada 2-22 Agustus 2021. Acara ini dibuka oleh Kepala Kantor Urusan Internasional UGM, I Made Andi Arsana, S.T., M.Sc, Ph.D yang kemudian dilanjutkan oleh sambutan pembuka dari perwakilan universitas rekanan, Prof. Dr. Kate McGregor dari Melbourne University Australia, dan Kepala Departemen Sejarah FIB UGM, Dr. Abdul Wahid.
__________
Course Title
Resilience and Control: Transmissible Disease and the Rise of Modern Society
__________
Course Description
The Covid19 epidemic has reminded all of us of how fragile the relationship between man and nature has always been. Modern society to a significant extent was based on the mythology of the control of nature by man-made science and the reduction of risk of the dangers lurking outside of human civilization. The latest Anthropocene-approach to understanding human and the natural world tend to emphasize human effect on nature. Human civilization became the determiner of a fragile and weak natural system ravaged by the activities of global man. While the discussion on Risk Society also focused on the dangers of civilizations and the running way of technology to the detriment of human society and civilization. The fear always comes from the dangers lurking from within human civilization. This idea of the scientific conquest of the natural world was a central myth of modern society. Yet, just a century ago, the idea of the natural order controlling human fate and civilization had reigned supreme. Capitalism and industrialization had by then expanded to towering heights, producing hellish landscapes of the Satanic mills or the tragedy of the bondage laborers of tropical plantations. Yet these landscapes were rarely seen as taking over nature. The industrialization of the 19th century and the greater human civilization was still seen to be eking its existence on the margins of the natural world.
“Peran penting film dokumenter pada masa pendudukan Jepang di Indonesia” menjadi topik bahasan utama dalam webinar yang diselenggarakan oleh Departemen Sejarah FIB UGM pada Rabu, 31 Maret 2021. Dalam diskusi webinar yang bertajuk “Di Bawah Terang ‘Cahaya Asia’: Film Dokumenter di Masa Pendudukan Jepang di Indonesia 1942-1945” ini sukses dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan dan institusi. Dalam diskusi webinar ini hadir Dr. Budi Irawanto sebagai pembicara dan Dr. Abdul Wahid sebagai pembahas. Kemudian untuk mengatur jalannya diskusi yang berlangsung selama 1 jam 30 menit mulai pukul 15.00 hingga pukul 16.30 ini maka turut hadir Julianto Ibrahim, M. Hum selaku moderator webinar.
Pada 23 Maret 2021, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada baru saja mengadakan acara peluncuran buku persembahan bagi Prof. Dr. Djoko Suryo dan Dr. J. Thomas Lindblad. Acara peluncuran buku yang berjudul, “Eksploitasi, Modernisasi, dan Pembangunan: Perubahan Sosial Ekonomi Pedesaan Jawa pada Kolonial dan Post-Kolonial” ini dilaksanakan melalui daring dan juga luring dengan mengambil tempat di ruang sidang pimpinan. Pada acara peluncuran buku ini, Prof. Dr. Djoko Suryo yang ditemani oleh istri turut hadir di ruang sidang pimpinan bersama dengan para dosen Departemen Sejarah FIB UGM yang diwakili oleh Dr. Abdul Wahid, M. Hum, M. Phil., Dr. Farabi Fakih, M. Phil., Dr. Sri Margana, M. Phil., dan Dr. Mutiah Amini, M. Hum. Kemudian disela-sela acara peluncuran buku ini juga dilakukan kegiatan sharing dan temu kangen antar dosen lain yang selama masa pandemi sulit untuk melakukan pertemuan tatap muka. (Adit)
Universitas Gadjah Mada Tahun 2021
“REVOLUSI INDONESIA TAHUN 1945-1949”
Tentang Beasiswa
Dalam rangka mendorong berlanjutnya tradisi pengkajian sejarah periode revolusi kemerdekaan Indonesia, Departemen Sejarah mengembangkan sebuah program khusus berupa beasiswa riset bagi mahasiswa pascasarjana program master dan doktoral, untuk meneliti, menulis publikasi ilmiah atau tugas akhir tentang periode revolusi Indonesia tahun 1945-1949. Skema beasiswa riset ini merupakan bagian dari proyek kerjasama penelitian kolaboratif antara Departemen Sejarah UGM dan KITLV Leiden “Proklamasi Kemerdekaan, Revolusi, dan Perang di Indonesia, 1945-1949”. Program beasiswa ini akan dilaksanakan pada semester ganjil tahun akademik 2020/2021 sampai 2021/2022.
Tema Penelitian
Tema payung program beasiswa siset ini adalah “Revolusi Indonesia 1945-1949 dalam Konteks Regional dan Global”. Tema tersebut mencakup, tapi tidak terbatas, pada aspek-aspek berikut: sosial, kebudayaan, seni, etnisitas, ekonomi, agama, diplomasi, politik, pemerintahan, logistik, transportasi, teknologi, militer, gender, keluarga, kelompok minoritas, pendidikan dan sebagainya.
Syarat dan Ketentuan
Kesempatan pertama sebagai pembicara diberikan kepada Ibu Djuwariyah yang berbagi pengalamannya tentang masa revolusi. Sebagai saksi sejarah revolusi yang lahir pada 1933 ini, pada saat ia berusia 15 tahun, tepatnya pada tahun 1948, ia menjadi anggota palang merah yang merangkap sebagai kurir para prajurit revolusi di Yogyakarta. Kini, dengan usianya yang sudah mencapai 86 tahun, ia masih dapat bercerita dengan detil dan runtut tentang keadaan yang ia alami pada masa revolusi sejak awal mula ia ikut terlibat dalam perjuangan hingga berakhirnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Selain itu, ia juga pernah terlibat dalam palang merah yang bertugas selama masa DI-TII di Bumiayu. Bagi Ibu Dju, panggilan akrabnya, perjuangan selama DI-TII lebih susah karena ‘musuh’ yang mereka hadapi sulit dibedakan dengan orang Indonesia lainnya. Jika Djuwariyah mewakili generasi awal perjuangan revolusi Indonesia, Galuh Ambar Sasi berbicara sebagai generasi kedua sebagai peneliti sejarah independen. Alumni dari program S2 Sejarah UGM ini memiliki ketertarikan terhadap reaksi perempuan terhadap peristiwa proklamasi dan peran mereka pada masa revolusi. Generesi ketiga yang diundang adalah Shinta Dwi Nugraeni, seorang siswi SMA 2 Bantul. Shinta yang sebelumnya memenangkan juara pertama dalam lomba esai Lawatan Sejarah Nasional 2019 menceritakan pengalamannya selama belajar sejarah di sekolah. Bagi Shinta, posisi perempuan selama masa revolusi tidak digambarkan secara signifikan, baik itu dalam buku paket apalagi dalam buku LKS yang digunakan di sekolah. Tidak heran, komentar Shinta, bahwa sejarah termasuk pelajaran yang paling membosankan bagi para siswa lainnya.
Setelah ketiga pembicara menyampaikan pengalamannya, Dr. Mutiah Amini yang didapuk sebagai pembahas yang juga memiliki ketertarikan pada sejarah perempuan, memberikan respon dan komentar kepada apa yang disampaikan ketiga pembicara tersebut, terutama tentang pengalaman Djuwariyah selama revolusi yang akan memperkaya khazanah sejarah revolusi dari perspektif perempuan. Selain itu, beliau juga berbicara mengenai topik yang lebih umum, yaitu pentingnya perspektif perempuan dalam sejarah. Baginya, banyak periode sejarah yang terlihat minim arsip tetapi justru bisa dikaji lebih jauh. Penggunaan sumber-sumber yang bersifat simbolik apabila dianalisis lebih jauh akan menghasilkan narasi sejarah yang sangat kaya.
Dengan menghadirkan pembicara lintas generasi, diskusi ini dengan sukses mengajarkan cara bagaimana untuk memaknai peran perempuan selama masa revolusi. [sej/habibi]
Workshop tersebut diisi oleh 10 pembicara yang dibagi ke dalam tiga sesi. Sesi pertama diawali oleh pemaparan tentang etnomusikologi dari Dr. Barbara Titus. Sebagai orang yang kini menempati posisi mendiang Jaap Kunst sebagai kepala bidang Etnomusikologi di Universiteit van Amsterdam, ia tidak saja menjelaskan tentang peninggalan Jaap Kunst, tetapi juga mengkritisi dan memaparkan peluang kajian etnomusikologi ke depannya. Satu panel dengan Barbara adalah Dr. Citra Aryandari beserta tiga mahasiswanya dari ISI Yogyakarta. Mereka menceritakan alasan ketertarikan masing-masing untuk mengkaji etnomusikologi.
Sesi kedua diisi oleh tiga orang, yaitu RM Surtihadi, M.Sn., Indra Fibiona, S.S., dan Dr. Sri Margana. Surtihadi yang juga merupakan mahasiswa program doktoral ISI Yogyakarta menjelaskan tentang percampuran musik Jawa dan Eropa di Keraton Yogyakarta, sementara Indra Fibiona dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DI Yogyakarta menjelaskan biografi R.M. Djajadipoera yang semasa hidupnya sering berinteraksi dengan Jaap Kunst ketika berkunjung ke Yogyakarta. Djajadipoera adalah salah satu tokoh musik dan tari di Keraton Yogyakarta. Presentasi Sri Margana dari Departemen Sejarah UGM lebih fokus pada penelitiannya tentang arsip korespondensi Djajadipoera dengan Jaap Kunst. Selain dengan melihat langsung pertunjukan musik, Jaap Kunst juga belajar musik melalui surat-menyurat dengan banyak ahli musik dan dua tokoh yang paling sering ia surati adalah Mangkunegoro VII dan Djajadipoera.
Selanjutnya, sesi ketiga diisi oleh Margi Ariyanti dan Henk Mak van Dijk. Margi Ariyanti merupakan seorang mahasiswa program pascasarjana bidang Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (PSPSR) UGM, sedangkan Henk Mak van Dijk dari Music Conservatory of Rotterdam & the Royal Conservatory di Den Haag. Dalam kesempatan tersebut, Margi berupaya membuat perbandingan antara komposer Indo terkenal, Constant van de Wall, dan Ki Hadjar Dewantara. Sementara itu, Henk yang juga mengajar di Muziek Academie, Den Haag, berbicara lebih lanjut mengenai karier salah satu komposer paling sukses tersebut. Pada tahun 2007, ia juga telah menerbitkan buku biografi van de Wall. Selain de Wall, Henk juga menyebut beberapa composer yang sama seperti de Wall dalam mencampur unsur-unsur musik Jawa ke musik Eropa yang diantaranya adalah composer perempuan kelahiran Yogyakarta, Linda Bandara.
Kesepuluh pembicara di atas tidak hanya berbicara mengenai Jaap Kunst seorang, melainkan mengenai etnomusikologi secara lebih luas. Hal ini sesuai dengan tujuan acara ini yang ingin mengembangkan, bukan hanya membuka, warisan Jaap Kunst. Selain paparan syarat pengetahuan, para peserta workshop semakin dibuat tertarik karena acara ini ditutup oleh lantunan piano Henk yang membawakan komposisi karya Paul Seeling, van de Wall, dan Linda Bandara. [sej/habibi]
Pada 22 Juli – 2 Agustus 2019, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada baru saja menyelenggarakan 2nd International Summer School dengan mengusung tema “Becoming a Transnational Scholar of Southeast Asia”. Kegiatan ini diikuti oleh kurang lebih 35 peserta yang berasal dari berbagai belahan dunia. Keterlibatan para peserta dengan latar belakang yang berbeda ini menjadi nilai tambah tersendiri bagi kegiatan ini. Selama kegiatan peserta bisa saling bertukar informasi mengenai sejarah di negara asalnya dengan sudut pandang yang beragam.
Kegiatan yang diselenggarakan selama kurang lebih dua minggu ini mendatangkan banyak para ahli yang tidak hanya berasal dari Indonesia, namun juga Australia, Jepang, dan Belanda. Hari pertama diawali dengan sambutan yang diberikan oleh ketua program sekaligus sekretaris S2 Ilmu Sejarah UGM, Dr. Farabi Fakih dan Prof. Dr. Kathrine Mc Gregor, perwakilan universitas mitra program summer school. Selanjutnya secara resmi program dibuka oleh Wakil Dekan I FIB UGM, Dr. Nur Saktiningrum.
Prof. Dr. Danny Wong Tze Ken dari University of Malaya mengawali pemberian materi program summer school dengan tema Chinese in Southeast Asia in a Transnational Context. Kegiatan di kelas kemudian dilanjutkan dengan materi dari Prof. Dr. Jos Gommans dari Leiden University dengan tema Provincializing Europe – Globalizing (Southeast) Asia. Setiap harinya para peserta akan mengikuti kegiatan di dalam maupun luar kelas dengan tema-tema materi yang relevan dengan tema program. Kegiatan kuliah lapangan sendiri diselengarakan pada 27-28 Juli dengan berkunjung ke enam tempat di sekitar Yogyakarta, yaitu Cemeti Institute for Art and Society, Kampung Ketandan dan Klenteng Fuk Ling Miau, Mendut Monestry, dan Pantai Watukodok. Selain itu, peserta juga berkesempatran melakukan riset kelompok dengan tema yang dipilih dan mempresentasikannya di akhir program.
Program summer school kemudian ditutup secara resmi oleh Kepala Departemen Sejarah, Dr. Sri Margana, M. Phil. dengan membagikan seluruh sertifikat peserta dan panitia secara bergiliran. Dengan terselenggaranya kegiatan summer school ini, para mahasiswa di bidang sejarah dan ilmu sosial diharapkan dapat secara kritis terlibat dengan fenomena transnasional dengan menganalisis manifestasinya di berbagai belahan dunia. (Sej/Lesta; Utami)
Course Description
The Department of History, Universitas Gadjah Mada in Yogyakarta plan to continue holding its second year summer school on transnationalism in Southeast Asia following on the successful summer school on transnationalism held at the Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada in 2018 with the title “Transnational History: Becoming a Cosmopolitan Historian.” The theme of the second summer school is a broadening of the application of transnationalism in looking not just at historical phenomenon, but present day economic, social, religious, cultural and political phenomenon in the city of Yogyakarta that is rooted in transnational forces and flows. By looking at how transnational flows create emergent potentialities that disrupt regulatory, moral and cultural spaces tethered on notions of fixed spaces and boundaries, the disruptive forces of transnationalism have resulted in categorizing certain people, things, practices and ideas as illegal, illicit, immoral and other pejorative notions; for instances illegal immigrants, drugs or ‘western-customs’. At the same time, other people, things, practices and ideas are considered as legal, legitimate and good. The movement of these groups from one society or country to another has resulted in placing these groups on either side of the legal, licit and moral framework resulting in contestations and reformulation of the framework themselves. These interplay between legal and illegal and moral and immoral thus represent a way in which societies ‘move forward’, by contesting the boundaries and framework of what are considered as good, bad or neutral.
We intend to look into these phenomena critically through theoretical, historical and social science discussion on various transnational manifestations in the city of Yogyakarta. These transnational phenomena appear in the form of social spaces, cultural events, economies and belief systems and represent the intertwining of transnational and local spaces and societies. These represented long historical phenomena from the period when Southeast Asia was part of that Asian trade network that brought over foreign culture, religion and social practices that would be entwined in the city’s identities. These same historical forces continue today and become engaged or re-engaged with present day flows; for instance, the rise of modern religion whether Islam, Christianity or Buddhism resulting in new flows such as pilgrimages to ‘new’ holy sites of the old Borobudur, or how ideas of the mysterious and transcendental East has created a tourist networks of ‘hippies’ on the hunt for spiritual enlightenment, or new practices that were brought over from Indonesian migrant workers and their discrimination at the hands of officials or the rise of Kpop or JPop and its relations with the racial notions of identities of Asian cool or new re-engagement with old forms of sexualities, religious beliefs and how these are met in today’s democratic Indonesia. These and others represent the field study in which students could engage, theorize and historicize such phenomenon in order to understand and appreciate them. These changes are often disruptive and result in dismay, discrimination, banning and, perhaps even, persecution. Understanding how some of these flows came to be regarded as normal while others persecuted is an important component of the critical education of the summer school.
__________
Learning Outcome
- To emphasize understanding about history and transnationalism in Southeast Asia
- To discuss contemporary issues related to transnationalism in Southeast Asia in culture, gender sexuality, economy and religion context.
- To emphasize understanding about transnationalism process network in Southeast Asia.
__________
Method and Output
The aim of the summer school is to provide the means for students in the field of history and social sciences to critically engage with transnational phenomenon by analyzing its manifestation in the city of Yogyakarta. By holding this exercise as a multicultural and multinational venture with students from around the Southeast Asia region and beyond, it allows students to distance themselves from their national narratives and regulatory, moral and cultural spaces. This distance allows them to open dialogue and re-examine their territorialized notions of legal and moral perspectives. The summer school is a cosmopolitan and denationalizing exercise; gathering students from around the world in order to facilitate a transnational dialogue. The dangers of placing people, things, practices and ideas within these legal and moral framework is apparent when one confronts its human victim; whether they be victims of state apparatus or criminals profiting from these transnational flows. At the same time, the creation of transnational spaces results in emergent identities, practices and ideas that are positive, uplifting and creative. This positive aspect of transnationalism also requires a critical perspective in understanding its relationship with the wider society and with the wider transnational flows. Students will be equipped with theoretical lectures on transnationalism and transnational history, but also engage in field studies into communities, organizations or activities in the city of Yogyakarta. The transnational approach allows such a local and semi-isolated place like Yogyakarta to be a rich node of global processes because its framework inherently decenter nodal connections. It also allows us to see in what way has Europe, Australia, Thailand, Vietnam, Malaysia, the Philippines and so forth are reflected in the history and phenomenon of Yogyakarta. such exercise will allow students to identity transnational connections with their own local histories, identities and practices.
__________
Time & Place
Date : July 22nd – August 2nd, 2019
Time : 08.30 am-15.00 pm
Course Venue : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
Field Research : Communities in Yogyakarta
__________
Lecturer
- Prof. Dr. Atsushi Ota (Keio University, Japan)
- Prof. Dr. Bambang Purwanto (Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada, Indonesia)
- Prof. Dr. Danny Wong Tze Ken (University of Malaya, Malaysia)
- Prof. Dr. Itty Abraham (National University of Singapore, Singapore)
- Prof. Dr. Jos Gommans (Leiden University, Netherlands)
- Prof. Dr. Kathrine McGregor (Melbourne University, Australia)
- Asst. Prof. Dr. Adisorn Muakpimai (Thammasat University, Thailand)
- Asst. Prof. Dr. Bhawan Ruangsilp (Chulalongkorn University, Thailand)
- Dr. Ariel C. Lopez (University of Philippine, Philippine)
- Dr. Erwan Agus Purwanto (Faculty of Social and Political Sciences, UGM)
- Dr. Farabi Fakih, M.Phil. (Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada, Indonesia)
- Dr. Francis A. Gealogo (Ateneo de Manila University, Philippine)
- Dr. Laksmi A. Savitri, M.Si. (Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada, Indonesia) –in confirmation-
- Dr. Pham Van Thuy (Vietnam National University, Vietnam)
- Dr. Phil. Shiskha Prabawaningtyas (Paramadina University, Indonesia)
- Dr. Sri Margana, M.Phil. (Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada, Indonesia)
- Dr. Suzie Handajani, M.A. (Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada, Indonesia)
- Dr. Yerry Wirawan (Sanata Dharma University, Indonesia)
- Dr. Yoseph Djakababa (Pelita Harapan University, Indonesia)
- Alia Swastika (ARK Galerie)
- Yulianti, PhD. Candidate (Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada/ Leiden University)
__________
Application
The course is free but limited to 36 participants only and please read carefully important information below:
Pendidikan di Indonesia selalu menjadikan kurikulum sebagai tolak ukur berhasil atau tidaknya sistem pengajaran. Padahal, kurikulum hanyalah benda mati, sehingga perubahan kurikulum bukanlah solusi dalam menyelesaikan masalah pendidikan. Kapasitas dan kemampuan guru adalah hal yang harus terus diperbaharui setiap detik. Jika guru tidak memiliki kebaruan ilmu sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, maka pendidikan pun tidak akan mengalami perkembangan. Hal ini menjadi jawaban, mengapa pendidikan sejarah tidak banyak mengalami perkembangan meskipun penulisan dan penelitian sejarah pasca orde baru telah berkembang pesat. Hal ini dapat menjadi bahan tropeksi pada diri sendiri sebagai guru maupun dosen, seberapa baru materi-materi yang diajarkan di kelas?
Masalah lain masalah psikologi guru dalam memberikan motivasi, baik pada dirinya maupun pada siswa. Saat ini, bidang sejarah tidak dijadikan sebagai prioritas di kalangan anak muda. Untuk dapat memotivasi anak muda dalam mencintai sejarah, guru harus lebih dulu mencintai profesinya, “Guru yang kebetulan menjadi guru tidak akan menjadi guru yang betul-betul”. Sehingga untuk dapat merespon perkembangan teknologi dan infomasi, masalah metodologi, historiografi dan kapasitas guru harus diselesaikan secara paralel.
Selengkapnya bisa dilihat dalam video berikut: