Salah satu tonggak kebangkitan nasional berasal dari STOVIA. Sekolah dokter Jawa itu menjadi penting dalam pergerakan nasional Indonesia. Alasan itu didasari atas munculnya Boedi Utomo pada 20 Mei 1908, yang para pengagasnya, kebanyakan berasal dari siswa STOVIA. Hal itu diungkapkan oleh Prof. Hans Pols dari University Of Sidney dalam kuliah umum yang digagas oleh Departemen Sejarah UGM pada Senin (10/4), bertempat di Fakultas Ilmu Budaya UGM. Kuliah umum itu mengangkat tema “The Indonesians Medical Profession in the Dutch East Indies: Medicine, Nationalism and Decolonization”. Menurut Hans, mahasiswa Kedokteran STOVIA, pada saat yang sama tidak hanya belajar tentang kesehatan, namun juga mulai belajar tentang nasionalisme dan pentingnya kemerdekaan. “Pada titik itulah, kemudian profesi dokter mempunyai peran vital masa itu” ungkap Hans.
Hans melihat bahwa mahasiswa kedokteran di STOVIA memiliki identitas hybrid. Mereka berasal dari kalangan bumiputera namun sekaligus beratribut Eropa (jas, tas, bahkan mungkin pemikiran). Namun di sisi lain, atribut Eropa itu berbaur dengan atribut Jawa (Blangkon dan batik). Mengenyam pendidikan Eropa membuat kerangka pikir mereka berubah. “Yang menarik adalah mengapa kemudian para dokter itu –lulusan STOVIA- berpikir politik dan revolusioner?” kata Hans. Ia kemudian memaparkan beberapa alasan. Salah satunya, karena mereka adalah aktor yang bersinggungan langsung dengan para pasien (kaya atau pun miskin). Mereka tahu kondisi sebenarnya dari rakyat, terutama kondisi sosial di Hindia Belanda. Kemudian ilmu yang mereka dapat digunakan untuk mengetahui proses evolusi dari masyarakat.
Selanjutnya Hans juga menjelaskan bahwa dokter masa Hindia mempunyai stratifikasi. Yang pertama adalah dokter Belanda. Mereka adalah kalangan dokter elit. Posisi mereka menempati strata paling tinggi dan mempunyai gaji terbaik. Kedua, dokter Hindia yang berasal dari lulusan STOVIA. Gaji mereka dan posisinya lebih rendah dari Dokter Belanda. Menurut Hans, kemudian memang muncul kemarahan akan permasalahan stratifikasi itu. “Mereka protes karena yang penting dalam Sains semua sama. Tidak Penting warna kulit atau ras” jelasnya. Hans menjelaskan para Dokter lulusan STOVIA sebetulnya memiliki kapastitas dan cerdas. Di sisi lain mereka juga sangat dibutuhkan, namun memang ada upaya penyingkiran oleh Belanda. “Baru memang pada generasi kedua muncul dokter-dokter elit dari kalangan pribumi untuk melawan” papar Hans.
Setelah 1920 saat pemerintahan kolonial menjadi represif kalangan dokter bergerak. Dokter-dokter pribumi itu melihat pemerintah kolonial tidak akan kooperatif perihal cita-cita kemerdekaan. Maka mereka melakukan perlawanan dengan cara ‘mengguncang’ kemapanan kolonial. Jurnal kedokteran mulai ditulis dan dipublikasikan oleh dokter-dokter pribumi. Dari sanalah elit kedokteran Indonesia mulai muncul. Mereka mulai lulus dengan predikat yang sama dengan orang Eropa. Pada perkembangan selanjutnya mereka mendapat gaji dan posisi yang sama dengan dokter Eropa. “Generasi itu kemudian menjadikan kesehatan sebagai alat perjuangan, dan kemajuan sosial” tutup Hans. (Sej/Bagus)