Peneliti senior Royal Netherlands Institute of Southeast Asian Caribbean Studies yang berbasis di Leiden (KITLV), Marieke Bloembergen, pada Kamis (20/4) memberikan kuliah umum tentang jaringan ilmiah, agama, dan gerakan spiritual India. Kuliah umum diselenggarakan oleh Departemen Sejarah FIB UGM bertempat di Ruang Sidang I, Gedung Purbatjaraka FIB UGM. Kuliah umum kali ini mengangkat tema “Beyond A Dutch Empire, Beyond Indonesia? : Scholarly and Religious Networks, Spritual Pergerakan and Moral Geographies Of Greater India Across Decolonization, 1920’s-1980’s” dan diikuti oleh mahasiswa FIB berbagai strata.
April
Eksploitasi terhadap perempuan menjadi budak seksual, pada masa pendudukan Jepang adalah suatu rangkaian sistem yang terencana dan terorganisir. Saat perang Asia Timur Raya, Jepang menyadari kebutuhan mendasar bagi para tentara. Hal yang memungkinkan saat itu adalah menggunakan perempuan pribumi sebagai ‘comfort women’ (wanita penghibur). Hal itu diutarakan Katherine Mc Gregor dalam kuliah umum yang diadakan oleh Departemen Sejarah FIB UGM, pada Selasa (25/4), di Ruang Multimedia, gedung Margono lt. 2, FIB UGM.
“Sekarang jawab saya, apakah ada kategori baru selain sosiologi sastra?” sanggah Prof. Bambang Purwanto kepada mahasiswa baru S-3 Sastra FIB UGM, yang menjabarkan rancangan penelitian disertasinya. Bambang Purwanto menilai rancangan penelitian yang diajukan mempunyai beberapa kelemahan dan tidak kontekstual. Hal itu ia sampaikan dalam kuliah umum tentang penulisan disertasi yang mengusung tema “From Research Question Proposal to Thesis Writing” pada Rabu (19/04) di Ruang Sidang I, Gedung Purbatjaraka, FIB UGM.
Salah satu tonggak kebangkitan nasional berasal dari STOVIA. Sekolah dokter Jawa itu menjadi penting dalam pergerakan nasional Indonesia. Alasan itu didasari atas munculnya Boedi Utomo pada 20 Mei 1908, yang para pengagasnya, kebanyakan berasal dari siswa STOVIA. Hal itu diungkapkan oleh Prof. Hans Pols dari University Of Sidney dalam kuliah umum yang digagas oleh Departemen Sejarah UGM pada Senin (10/4), bertempat di Fakultas Ilmu Budaya UGM. Kuliah umum itu mengangkat tema “The Indonesians Medical Profession in the Dutch East Indies: Medicine, Nationalism and Decolonization”. Menurut Hans, mahasiswa Kedokteran STOVIA, pada saat yang sama tidak hanya belajar tentang kesehatan, namun juga mulai belajar tentang nasionalisme dan pentingnya kemerdekaan. “Pada titik itulah, kemudian profesi dokter mempunyai peran vital masa itu” ungkap Hans.
Layar proyektor memutar sebuah film dokumenter. Terlihat dalam film itu, seorang lelaki tua sedang diwawancara terkait pengalaman perang. “Pokoknya masa itu saya tidak tenang, tidak aman” katanya. Ia adalah seorang mantan veteran –yang dulunya seorang petani- yang turut berjuang dalam perang revolusi 1945-1949. Veteran itu mengatakan bahwa ia bangga dengan apa yang sudah dilakukan. Ia mengungkapkan perjuangannya dalam mempertahankan kemerdekaan. Kisahnya adalah kisah perjuangan. Tidak berselang lama sebuah film dokumenter lain diputar. Kali ini yang ditampilkan adalah seorang lelaki warga negara Belanda. Usianya hampir sama tua dengan lelaki pertama. Tetapi yang jelas, ia juga adalah veteran perang. Dulu ia tergabung dalam pasukan yang membonceng NICA untuk melakukan agresi militer. Ia menangpak para pejuang kemerdekaan. Namun, dalam penuturannya ia merasa bersalah atas tindakannya. Dalam pandangannya, apa yang dilakukan Belanda terutama pada 1945-1949 tidak bisa dibenarkan. Dua film itu menunjukkan ada dua perspektif berbeda dalam membaca sejarah ketika masa revolusi.