• UGM
  • FIB
  • Webmail
  • Academic Portal
  • Indonesia
    • Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Departemen Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Tentang
    • Departemen
    • Staf
    • Kontak
  • Akademik
    • Program Sarjana
      • Mata Kuliah Program Sarjana
    • Program Magister
      • Mata Kuliah Program Magister
    • Summer School
    • MBKM
    • Intended Learning Outcomes (ILOs)
  • Kabar
    • Berita
    • Agenda
  • Penelitian
  • Publikasi
    • Lembaran Sejarah
    • Histma
  • Alumni
    • Kasagama
    • Career Development Center
  • Beranda
  • Pos oleh
Pos oleh :

admin

3rd International Summer School of the Department of History 2021

agendasummer school Sabtu, 1 Mei 2021

__________
Course Title

Resilience and Control: Transmissible Disease and the Rise of Modern Society

__________
Course Description

The Covid19 epidemic has reminded all of us of how fragile the relationship between man and nature has always been. Modern society to a significant extent was based on the mythology of the control of nature by man-made science and the reduction of risk of the dangers lurking outside of human civilization. The latest Anthropocene-approach to understanding human and the natural world tend to emphasize human effect on nature. Human civilization became the determiner of a fragile and weak natural system ravaged by the activities of global man. While the discussion on Risk Society also focused on the dangers of civilizations and the running way of technology to the detriment of human society and civilization. The fear always comes from the dangers lurking from within human civilization. This idea of the scientific conquest of the natural world was a central myth of modern society. Yet, just a century ago, the idea of the natural order controlling human fate and civilization had reigned supreme. Capitalism and industrialization had by then expanded to towering heights, producing hellish landscapes of the Satanic mills or the tragedy of the bondage laborers of tropical plantations. Yet these landscapes were rarely seen as taking over nature. The industrialization of the 19th century and the greater human civilization was still seen to be eking its existence on the margins of the natural world. read more

Beasiswa Penelitian Program Master dan Doktor Sejarah UGM 2021

beasiswa Kamis, 19 November 2020

Beasiswa Penelitian Program Master dan Doktor Sejarah
Universitas Gadjah Mada Tahun 2021
“REVOLUSI INDONESIA TAHUN 1945-1949”

Tentang Beasiswa

Dalam rangka mendorong berlanjutnya tradisi pengkajian sejarah periode revolusi kemerdekaan Indonesia, Departemen Sejarah mengembangkan sebuah program khusus berupa beasiswa riset bagi mahasiswa pascasarjana program master dan doktoral, untuk meneliti, menulis publikasi ilmiah atau tugas akhir tentang periode revolusi Indonesia tahun 1945-1949. Skema beasiswa riset ini merupakan bagian dari proyek kerjasama penelitian kolaboratif antara Departemen Sejarah UGM dan KITLV Leiden “Proklamasi Kemerdekaan, Revolusi, dan Perang di Indonesia, 1945-1949”. Program beasiswa ini akan dilaksanakan pada semester ganjil tahun akademik 2020/2021 sampai 2021/2022.

 

Tema Penelitian

Tema payung program beasiswa siset ini adalah “Revolusi Indonesia 1945-1949 dalam Konteks Regional dan Global”. Tema tersebut mencakup, tapi tidak terbatas, pada aspek-aspek berikut: sosial, kebudayaan, seni, etnisitas, ekonomi, agama, diplomasi, politik, pemerintahan, logistik, transportasi, teknologi, militer, gender, keluarga, kelompok minoritas, pendidikan dan sebagainya.

 

Syarat dan Ketentuan

  • Mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Sejarah UGM minimal tahun kedua dan atau Mahasiswa Program Doktoral Ilmu-Ilmu Humaniora di UGM, serta memiliki ketertarikan dan komitmen untuk mengkaji revolusi Indonesia untuk tesis atau disertasi yang sedang atau akan dikerjakan.
  • Bersedia mengikuti semua program terkait dengan penelitian yang diselenggarakan dalam kerangka penelitian “Proklamasi Kemerdekaan, Revolusi dan Perang di Indonesia, 1945-1949”.
  • Berkomitmen untuk mengikuti semua program perkuliahan di Program S2 Sejarah, Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada dan Program Doktoral Ilmu-Ilmu Humaniora di UGM.
  • Menyelesaikan tesis dan/atau menerbitkan publikasi ilmiah dalam jurnal bereputasi baik nasional atau internasional.
  • Tidak sedang menerima beasiswa dari sumber lain.
  • read more

    Dialog Tiga Generasi Perempuan tentang Revolusi Indonesia

    berita Kamis, 22 Agustus 2019

    ‘Memori antar generasi’ adalah poin yang ingin dibahas dalam diskusi yang bertempat di Ruang Multimedia, Gedung Margono Lantai 2 Fakultas Ilmu Budaya UGM ini. Lebih khususnya, diskusi yang berlangsung selama 2 jam dari pukul 13:00 hingga 15:00 pada hari Rabu, 21 Agustus 2019 tersebut, membahas memori tentang peran perempuan selama masa revolusi. Tujuan tersebut sesuai dengan tajuk yang diberikan,  Dialog Tiga Generasi Perempuan tentang Revolusi Indonesia. Untuk mencapai tujuan ini, tiga orang pembicara dan seorang pembahas yang semuanya perempuan diundang untuk mengisi acara ini, yaitu secara berturut-turut Ibu Djuwariyah, Galuh Ambar Sasi, M.A., Shinta Dwi Nugraeni, dan Dr. Mutiah Amini.

    Kesempatan pertama sebagai pembicara diberikan kepada Ibu Djuwariyah yang berbagi pengalamannya tentang masa revolusi. Sebagai saksi sejarah revolusi yang lahir pada 1933 ini, pada saat ia berusia 15 tahun, tepatnya pada tahun 1948, ia menjadi anggota palang merah yang merangkap sebagai kurir para prajurit revolusi di Yogyakarta. Kini, dengan usianya yang sudah mencapai 86 tahun, ia masih dapat bercerita dengan detil dan runtut tentang keadaan yang ia alami pada masa revolusi sejak awal mula ia ikut terlibat dalam perjuangan hingga berakhirnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Selain itu, ia juga pernah terlibat dalam palang merah yang bertugas selama masa DI-TII di Bumiayu. Bagi Ibu Dju, panggilan akrabnya, perjuangan selama DI-TII lebih susah karena ‘musuh’ yang mereka hadapi sulit dibedakan dengan orang Indonesia lainnya. Jika Djuwariyah mewakili generasi awal perjuangan revolusi Indonesia, Galuh Ambar Sasi berbicara sebagai generasi kedua sebagai peneliti sejarah independen. Alumni dari program S2 Sejarah UGM ini memiliki ketertarikan terhadap reaksi perempuan terhadap peristiwa proklamasi dan peran mereka pada masa revolusi. Generesi ketiga yang diundang adalah Shinta Dwi Nugraeni, seorang siswi SMA 2 Bantul. Shinta yang sebelumnya memenangkan juara pertama dalam lomba esai Lawatan Sejarah Nasional 2019 menceritakan pengalamannya selama belajar sejarah di sekolah. Bagi Shinta, posisi perempuan selama masa revolusi tidak digambarkan secara signifikan, baik itu dalam buku paket apalagi dalam buku LKS yang digunakan di sekolah. Tidak heran, komentar Shinta, bahwa sejarah termasuk pelajaran yang paling membosankan bagi para siswa lainnya.

    Setelah ketiga pembicara menyampaikan pengalamannya, Dr. Mutiah Amini yang didapuk sebagai pembahas yang juga memiliki ketertarikan pada sejarah perempuan, memberikan respon dan komentar kepada apa yang disampaikan ketiga pembicara tersebut, terutama tentang pengalaman Djuwariyah selama revolusi yang akan memperkaya khazanah sejarah revolusi dari perspektif perempuan. Selain itu, beliau juga berbicara mengenai topik yang lebih umum, yaitu pentingnya perspektif perempuan dalam sejarah. Baginya, banyak periode sejarah yang terlihat minim arsip tetapi justru bisa dikaji lebih jauh. Penggunaan sumber-sumber yang bersifat simbolik apabila dianalisis lebih jauh akan menghasilkan narasi sejarah yang sangat kaya.

    Dengan menghadirkan pembicara lintas generasi, diskusi ini dengan sukses mengajarkan cara bagaimana untuk memaknai peran perempuan selama masa revolusi. [sej/habibi]

    Sejarah UGM dan FSP ISI Selenggarakan Workshop Penelusuran Koleksi Jaap Kunst tentang Musik di Nusantara

    berita Selasa, 20 Agustus 2019

    Workshop pada Senin, 19 Agustus 2019, yang dilaksanakan di Sekolah Pascasarjana ISI Yogyakarta cukup berbeda dari acara Departemen Sejarah biasanya. Bertajuk Jejak Suara Tersembunyi: Unpacking the Jaap Kunst’s Collection on the Music of Nusantara, workshop ini diadakan atas kerja sama antara Departemen Sejarah FIB UGM dan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta. Sesuai dengan judulnya, tujuan dari workshop tersebut adalah membahas kemungkinan bidang penelitian yang bisa dikaji tentang warisan seorang pelopor kajian etnomusikologi modern yang menjadikan musik-musik Nusantara sebagai objek kajiannya.

    Workshop tersebut diisi oleh 10 pembicara yang dibagi ke dalam tiga sesi. Sesi pertama diawali oleh pemaparan tentang etnomusikologi dari Dr. Barbara Titus. Sebagai orang yang kini menempati posisi mendiang Jaap Kunst sebagai kepala bidang Etnomusikologi di Universiteit van Amsterdam, ia tidak saja menjelaskan tentang peninggalan Jaap Kunst, tetapi juga mengkritisi dan memaparkan peluang kajian etnomusikologi ke depannya. Satu panel dengan Barbara adalah Dr. Citra Aryandari beserta tiga mahasiswanya dari ISI Yogyakarta. Mereka menceritakan alasan ketertarikan masing-masing untuk mengkaji etnomusikologi.

    Sesi kedua diisi oleh tiga orang, yaitu RM Surtihadi, M.Sn., Indra Fibiona, S.S., dan Dr. Sri Margana. Surtihadi yang juga merupakan mahasiswa program doktoral ISI Yogyakarta menjelaskan tentang percampuran musik Jawa dan Eropa di Keraton Yogyakarta, sementara Indra Fibiona dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DI Yogyakarta menjelaskan biografi R.M. Djajadipoera yang semasa hidupnya sering berinteraksi dengan Jaap Kunst ketika berkunjung ke Yogyakarta. Djajadipoera adalah salah satu tokoh musik dan tari di Keraton Yogyakarta. Presentasi Sri Margana dari Departemen Sejarah UGM lebih fokus pada penelitiannya tentang arsip korespondensi Djajadipoera dengan Jaap Kunst. Selain dengan melihat langsung pertunjukan musik, Jaap Kunst juga belajar musik melalui surat-menyurat dengan banyak ahli musik dan dua tokoh yang paling sering ia surati adalah Mangkunegoro VII dan Djajadipoera.

    Selanjutnya, sesi ketiga diisi oleh Margi Ariyanti dan Henk Mak van Dijk. Margi Ariyanti merupakan seorang mahasiswa program pascasarjana bidang Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (PSPSR) UGM, sedangkan Henk Mak van Dijk dari Music Conservatory of Rotterdam & the Royal Conservatory di Den Haag. Dalam kesempatan tersebut, Margi berupaya membuat perbandingan antara komposer Indo terkenal, Constant van de Wall, dan Ki Hadjar Dewantara. Sementara itu, Henk yang juga mengajar di Muziek Academie, Den Haag, berbicara lebih lanjut mengenai karier salah satu komposer paling sukses tersebut. Pada tahun 2007, ia juga telah menerbitkan buku biografi van de Wall. Selain de Wall, Henk juga menyebut beberapa composer yang sama seperti de Wall dalam mencampur unsur-unsur musik Jawa ke musik Eropa yang diantaranya adalah composer perempuan kelahiran Yogyakarta, Linda Bandara.

    Kesepuluh pembicara di atas tidak hanya berbicara mengenai Jaap Kunst seorang, melainkan mengenai etnomusikologi secara lebih luas. Hal ini sesuai dengan tujuan acara ini yang ingin mengembangkan, bukan hanya membuka, warisan Jaap Kunst. Selain paparan syarat pengetahuan, para peserta workshop semakin dibuat tertarik karena acara ini ditutup oleh lantunan piano Henk yang membawakan komposisi karya Paul Seeling, van de Wall, dan Linda Bandara. [sej/habibi]

    Summer School Departemen Sejarah 2019: Mengajak Sejarawan Muda untuk Terlibat dalam Pespektif Sejarah Transnasional

    berita Senin, 5 Agustus 2019

    Menjadi seorang sejarawan pada periode revolusi industri 4.0 ini – yakni dengan IT sebagai tren utama, tentu ada banyak tantangan baru yang harus dihadapi, salah satunya mengenai Transnasional History. Pandangan mengenai Transnasional History memang bukan merupakan suatu hal yang baru, akan tetapi dengan adanya revolusi industri 4.0, isu-isu transnasional menjadi semakin menarik untuk dibahas. Menempatkan sejarah lokal atau nasional sebagai bagian dari sejarah global, akan memunculkan daya tarik tersendiri, terutama bagi mereka yang mempunyai ketertarikan terhadap isu-isu transnasional.

    Pada 22 Juli – 2 Agustus 2019, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada baru saja menyelenggarakan 2nd International Summer School dengan mengusung tema “Becoming a Transnational Scholar of Southeast Asia”. Kegiatan ini diikuti oleh kurang lebih 35 peserta yang berasal dari berbagai belahan dunia. Keterlibatan para peserta dengan latar belakang yang berbeda ini menjadi nilai tambah tersendiri bagi kegiatan ini. Selama kegiatan peserta bisa saling bertukar informasi mengenai sejarah di negara asalnya dengan sudut pandang yang beragam.

    Kegiatan yang diselenggarakan selama kurang lebih dua minggu ini mendatangkan banyak para ahli yang tidak hanya berasal dari Indonesia, namun juga Australia, Jepang, dan Belanda. Hari pertama diawali dengan sambutan yang diberikan oleh ketua program sekaligus sekretaris S2 Ilmu Sejarah UGM, Dr. Farabi Fakih dan Prof. Dr. Kathrine Mc Gregor, perwakilan universitas mitra program summer school. Selanjutnya secara resmi program dibuka oleh Wakil Dekan I FIB UGM, Dr. Nur Saktiningrum.

    Prof. Dr. Danny Wong Tze Ken dari University of Malaya mengawali pemberian materi program summer school dengan tema Chinese in Southeast Asia in a Transnational Context. Kegiatan di kelas kemudian dilanjutkan dengan materi dari Prof. Dr. Jos Gommans dari Leiden University dengan tema Provincializing Europe – Globalizing (Southeast) Asia. Setiap harinya para peserta akan mengikuti kegiatan di dalam maupun luar kelas dengan tema-tema materi yang relevan dengan tema program. Kegiatan kuliah lapangan sendiri diselengarakan pada 27-28 Juli dengan berkunjung ke enam tempat di sekitar Yogyakarta, yaitu Cemeti Institute for Art and Society, Kampung Ketandan dan Klenteng Fuk Ling Miau, Mendut Monestry, dan Pantai Watukodok. Selain itu, peserta juga berkesempatran melakukan riset kelompok dengan tema yang dipilih dan mempresentasikannya di akhir program.

    Program summer school kemudian ditutup secara resmi oleh Kepala Departemen Sejarah, Dr. Sri Margana, M. Phil. dengan membagikan seluruh sertifikat peserta dan panitia secara bergiliran. Dengan terselenggaranya kegiatan summer school ini, para mahasiswa di bidang sejarah dan ilmu sosial diharapkan dapat secara kritis terlibat dengan fenomena transnasional dengan menganalisis manifestasinya di berbagai belahan dunia. (Sej/Lesta; Utami)

    2nd International Summer School on Transnationalism at Universitas Gadjah Mada 2019: Becoming a Transnational Scholar of Southeast Asia

    agendasummer school Jumat, 22 Maret 2019

    __________
    Course Description

    The Department of History, Universitas Gadjah Mada in Yogyakarta plan to continue holding its second year summer school on transnationalism in Southeast Asia following on the successful summer school on transnationalism held at the Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada in 2018 with the title “Transnational History: Becoming a Cosmopolitan Historian.” The theme of the second summer school is a broadening of the application of transnationalism in looking not just at historical phenomenon, but present day economic, social, religious, cultural and political phenomenon in the city of Yogyakarta that is rooted in transnational forces and flows. By looking at how transnational flows create emergent potentialities that disrupt regulatory, moral and cultural spaces tethered on notions of fixed spaces and boundaries, the disruptive forces of transnationalism have resulted in categorizing certain people, things, practices and ideas as illegal, illicit, immoral and other pejorative notions; for instances illegal immigrants, drugs or ‘western-customs’. At the same time, other people, things, practices and ideas are considered as legal, legitimate and good. The movement of these groups from one society or country to another has resulted in placing these groups on either side of the legal, licit and moral framework resulting in contestations and reformulation of the framework themselves. These interplay between legal and illegal and moral and immoral thus represent a way in which societies ‘move forward’, by contesting the boundaries and framework of what are considered as good, bad or neutral.

    We intend to look into these phenomena critically through theoretical, historical and social science discussion on various transnational manifestations in the city of Yogyakarta. These transnational phenomena appear in the form of social spaces, cultural events, economies and belief systems and represent the intertwining of transnational and local spaces and societies. These represented long historical phenomena from the period when Southeast Asia was part of that Asian trade network that brought over foreign culture, religion and social practices that would be entwined in the city’s identities. These same historical forces  continue today and become engaged or re-engaged with present day flows; for instance, the rise of modern religion whether Islam, Christianity or Buddhism resulting in new flows such as pilgrimages to ‘new’ holy sites of the old Borobudur, or how ideas of the mysterious and transcendental East has created a tourist networks of ‘hippies’ on the hunt for spiritual enlightenment, or new practices that were brought over from Indonesian migrant workers and their discrimination at the hands of officials or the rise of Kpop or JPop and its relations with the racial notions of identities of Asian cool or new re-engagement with old forms of sexualities, religious beliefs and how these are met in today’s democratic Indonesia. These and others represent the field study in which students could engage, theorize and historicize such phenomenon in order to understand and appreciate them. These changes are often disruptive and result in dismay, discrimination, banning and, perhaps even, persecution. Understanding how some of these flows came to be regarded as normal while others persecuted is an important component of the critical education of the summer school.

    __________
    Learning Outcome

    • To emphasize understanding about history and transnationalism in Southeast Asia
    • To discuss contemporary issues related to transnationalism in Southeast Asia in culture, gender sexuality, economy and religion context.
    • To emphasize understanding about transnationalism process network in Southeast Asia.

    __________
    Method and Output

    The aim of the summer school is to provide the means for students in the field of history and social sciences to critically engage with transnational phenomenon by analyzing its manifestation in the city of Yogyakarta. By holding this exercise as a multicultural and multinational venture with students from around the Southeast Asia region and beyond, it allows students to distance themselves from their national narratives and regulatory, moral and cultural spaces. This distance allows them to open dialogue and re-examine their territorialized notions of legal and moral perspectives. The summer school is a cosmopolitan and denationalizing exercise; gathering students from around the world in order to facilitate a transnational dialogue. The dangers of placing people, things, practices and ideas within these legal and moral framework is apparent when one confronts its human victim; whether they be victims of state apparatus or criminals profiting from these transnational flows. At the same time, the creation of transnational spaces results in emergent identities, practices and ideas that are positive, uplifting and creative. This positive aspect of transnationalism also requires a critical perspective in understanding its relationship with the wider society and with the wider transnational flows. Students will be equipped with theoretical lectures on transnationalism and transnational history, but also engage in field studies into communities, organizations or activities in the city of Yogyakarta. The transnational approach allows such a local and semi-isolated place like Yogyakarta to be a rich node of global processes because its framework inherently decenter nodal connections. It also allows us to see in what way has Europe, Australia, Thailand, Vietnam, Malaysia, the Philippines and so forth are reflected in the history and phenomenon of Yogyakarta. such exercise will allow students to identity transnational connections with their own local histories, identities and practices.

    __________
    Time & Place

    Date                            : July 22nd – August 2nd, 2019

    Time                           : 08.30 am-15.00 pm

    Course Venue           : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

    Field Research         : Communities in Yogyakarta

    __________
    Lecturer

    1. Prof. Dr. Atsushi Ota (Keio University, Japan)
    2. Prof. Dr. Bambang Purwanto (Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada, Indonesia)
    3. Prof. Dr. Danny Wong Tze Ken (University of Malaya, Malaysia)
    4. Prof. Dr. Itty Abraham (National University of Singapore, Singapore)
    5. Prof. Dr. Jos Gommans (Leiden University, Netherlands)
    6. Prof. Dr. Kathrine McGregor (Melbourne University, Australia)
    7. Asst. Prof. Dr. Adisorn Muakpimai (Thammasat University, Thailand)
    8. Asst. Prof. Dr. Bhawan Ruangsilp (Chulalongkorn University, Thailand)
    9. Dr. Ariel C. Lopez (University of Philippine, Philippine)
    10. Dr. Erwan Agus Purwanto (Faculty of Social and Political Sciences, UGM)
    11. Dr. Farabi Fakih, M.Phil. (Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada, Indonesia)
    12. Dr. Francis A. Gealogo (Ateneo de Manila University, Philippine)
    13. Dr. Laksmi A. Savitri, M.Si. (Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada, Indonesia) –in confirmation-
    14. Dr. Pham Van Thuy (Vietnam National University, Vietnam)
    15. Dr. Phil. Shiskha Prabawaningtyas (Paramadina University, Indonesia)
    16. Dr. Sri Margana, M.Phil. (Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada, Indonesia)
    17. Dr. Suzie Handajani, M.A. (Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada, Indonesia)
    18. Dr. Yerry Wirawan (Sanata Dharma University, Indonesia)
    19. Dr. Yoseph Djakababa (Pelita Harapan University, Indonesia)
    20. Alia Swastika (ARK Galerie)
    21. Yulianti, PhD. Candidate (Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada/ Leiden University)

    __________
    Application

    The course is free but limited to 36 participants only and please read carefully important information below:

  • Applicants are BA/MA students of Humanity Studies and Social Sciences all over the world
  • Application should include a CV, a short letter of motivation that also indicates the student’s main fields of interest, personal photo, scan of passport and student card.
  • Communication during the course will be in English
  • All selected applicants from outside Yogyakarta are granted free accommodation
  • All selected applicants are expected to secure their own travel expense and itinerary from and to their home country
  • Refreshments and lunches during the course are available
  • read more

    Pangkal Masalah Pendidikan Kesejarahan oleh Dr. Agus Suwignyo, Keynote Speaker Seminar Sejarah Nasional Peringatan Hari Sejarah 2018

    selisik Selasa, 11 Desember 2018

    Pasca 1998 penulisan sejarah di Indonesia berkembang pesat dengan sumber dan metode yang baru. Hal tersebut tidak berbanding lurus dengan pengajaran sejarah di ruang kelas yang tetap monoton. Tidak dihadirkannya problematika historiografi dan penulisan sejarah serta kemampuan guru dalam mengajar menjadi penyumbang tidak berkembangnya pengajaran sejarah di sekolah. Tulisan sejarah selalu mengandung batasan metodologis dan menarik untuk didiskusikan. Jika hal tersebut dihadirkan dalam pengajaran di sekolah, baik guru maupun siswa akan mampu mendiksusikan dan mengkritisi sejarah dan penulisan sejarah. Dalam kenyataannya, pengajaran sejarah di sekolah hanya menghadirkan substansi peristiwa sejarah seperti yang dituliskan dalam teks. Cara tersebut menjadikan kegiatan di dalam kelas sangat pasif, karena para siswa hanya mengulang bacaan dari buku tanpa mendiskusikan problematika historiografi dan persoalan metodologinya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan sikap kritis di kalangan siswa tentang metodologi dan historiografi ialah dengan menghadirkan berbagai tulisan yang membahas tema yang sama. Hal ini dapat menunjukkan bahwa tulisan sejarah dapat ditulis dengan perspektif yang beragam. Dalam memperbaiki kompetensi guru, kita tidak dapat terlepas dari latar belakang pendidikan yang mereka terima sebelum menjadi pendidik. Masing-masing guru dididik pada masa yang berbeda-beda. Untuk memperbaiki kualitas guru, maka harus dilakukan perbaikan pada proses pendidikan guru. “Imuwan yang Guru” dibutuhkan dalam menyelesaikan hal ini. Seseorang harus mempuni sebagai ilmuwan dalam bidangnya sebelum disiapkan menjadi guru. Mereka tidak hanya harus menguasai substansi bidang ilmu, namun juga proses metodologi dan persoalan-persoalan aksiologi ilmunya. Jika hal tersebut sudah dimiliki, maka ia akan siap menjadi guru. Dalam bidang sejarah misalnya, calon guru harus memiliki pemahaman filsafat sejarah dan metodologi sejarah.

    Pendidikan di Indonesia selalu menjadikan kurikulum sebagai tolak ukur berhasil atau tidaknya sistem pengajaran. Padahal, kurikulum hanyalah benda mati, sehingga perubahan kurikulum bukanlah solusi dalam menyelesaikan masalah pendidikan. Kapasitas dan kemampuan guru adalah hal yang harus terus diperbaharui setiap detik. Jika guru tidak memiliki kebaruan ilmu sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, maka pendidikan pun tidak akan mengalami perkembangan. Hal ini menjadi jawaban, mengapa pendidikan sejarah tidak banyak mengalami perkembangan meskipun penulisan dan penelitian sejarah pasca orde baru telah berkembang pesat. Hal ini dapat menjadi bahan tropeksi pada diri sendiri sebagai guru maupun dosen, seberapa baru materi-materi yang diajarkan di kelas?

    Masalah lain masalah psikologi guru dalam memberikan motivasi, baik pada dirinya maupun pada siswa. Saat ini, bidang sejarah tidak dijadikan sebagai prioritas di kalangan anak muda. Untuk dapat memotivasi anak muda dalam mencintai sejarah, guru harus lebih dulu mencintai profesinya, “Guru yang kebetulan menjadi guru tidak akan menjadi guru yang betul-betul”. Sehingga untuk dapat merespon perkembangan teknologi dan infomasi, masalah metodologi, historiografi dan kapasitas guru harus diselesaikan secara paralel.

    Selengkapnya bisa dilihat dalam video berikut:

    Wieteke van Dort, Seniman Dua Budaya

    berita Jumat, 2 November 2018

    Buku Hans Visser yang berjudul Wieteke van Dort: Kind van Twee Culturen; Een familiekroniek baru terbit pada tanggal 25 Oktober 2018. Namun, sebagai wartawan yang bekerja Noor d-Holland Dagblad, tampaknya Hans cukup tertarik untuk segera menceritakannya ke publik.

    Pada kamis, 2 November 2018, Departemen Sejarah UGM, mengundang Hans untuk menceritakan kehidupan Wieteke van Dort. Acara tersebut diadakan pada jam 1 hingga jam 15.00 di Ruang Sidang 1, Gedung Poerbatjaraka, FIB, UGM.

    Menurut Hans, hal yang menarik dari Wieteke adalah asal-usul dua kebudayaan yang telah memengaruhinya, Jawa dan Belanda. Ya, semua itu karena Wieteke memang seorang Indo. Lahir di Surabaya pada 16 Mei 1943, Wieteke adalah putri dari seorang ayah berdarah Belanda dan ibu yang asli orang Jawa. Sayang, ketika ia sedang mengunjungi Belanda pada usia 18 tahun, keluarganya memutuskan untuk menetap di Den Haag.

    Meski demikian, pengaruh darah dan lingkungan masa kecil Wieteke tidak hilang. Sebagai seorang seniman, ia banyak memasukkan unsur-unsur indies dalam keseniannya. Hal ini terlihat salah satunya terlihat dari aktingnya sebagai Tante Lien dalam serial film di tahun 1970-an hingga 1980-an akhir yang sangat bernuansa Indies, The Late Late Lien Show. Tidak lupa, juga dalam lagu yang sangat populer, Hallo Bandoeng dan Geef Mij Maar Nasi Goreng.

    Banyak tanggapan yang muncul atas cerita Hans. Salah satunya datang dari Ibu Ita Fatia Nadia. Dengan membandingkan dengan buku-buku lain tentang orang Indo, seperti memoar yang ditulis oleh Ruth Havelaar, Anna-Ruth Wertheim, dan Elien Utrecht, Ibu Ita menganggap buku tentang Wieteke ini menarik untuk bisa melihat pandangan orang Indo yang berkecimpung dalam bidang kesenian. Ia sangat berharap buku tersebut bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun, kata Hans, “daripada menerjemahkan, lebih baik dilakukan penulisan kembali dengan bahasa Indonesia.”

    Selain tanggapan, ada pertanyaan yang cukup personal dari Mutiara, mahasiswa manajemen FEB, UGM. “Apakah Tante Lien sering melakukan pertunjukan atau konser di Indonesia?” Jawaban Hans, “Iya, tentu saja ia akan sangat bangga jika ada stasiun TV yang mengundangnya.” Jawaban tersebut ditanggapi oleh peserta lain, “Sesungguhnya Tante Lien melakukan tur setiap tahun di Indonesia. Masalahnya adalah publikasi dari acaranya kurang gencar.”

    Menceritakan perjalanan hidup seseorang memang menyenangkan. Semua orang memiliki keunikan sendiri-sendiri, dan sejarah memang bertugas menceritakan keunikan dan kerincian peristiwa yang telah terjadi di masa lalu. [sej/habibi]

    Department of History held International Summer School: Promoting Transnational Perspective Among Young Researchers

    berita Senin, 10 September 2018

    As citizens of modern Southeast Asia, we often take for granted nation-state that in fact is a new concept. Not only it is contemporary, border that demarcate states both on water and land is innately artificial and porous. Department of History, Faculty of Cultural Sciences UGM initiated “International Summer School on Southeast Asian Studies; Transnational History: Becoming a Cosmopolitan Historian” to promote perspective that transcends border for young and potential researchers. The summer school took place at Faculty of Cultural Sciences Universitas Gadjah Mada from 27th August– 6th September 2018. Participants of this summer school are undergraduate and graduate students as well as young lecturers from Australia, Japan, Malaysia, Thailand, United States, and Vietnam. This summer school also incorporates Indonesian students from state universities throughout the country.

    The summer school involved students in 17 classroom sessions that raises subtopics namely: introduction to transnational perspective, religion, diaspora, disease, city as the stage of transnationalism, transnationalism and human security issues, as well as relation between transnationalism with national historiography. Each session taught by lecturers that are expert on the field; Prof. Dr. Vincent Houben (Universitat Berlin), Prof. Kate McGregor (University of Melbourne), Prof. Dr. Atsushi Ota (Keio University), Prof. Danny Wong Tze Ken (University of Malaya), Prof. Dr. Jurgen Sarnowsky (University of Hamburg), Dr. Pham Van Thuy (Vietnam National University-Hanoi), Dr. Adisorn Muakpimai (Thammasat University), Dr. Onanong Thippimol (Thammasat University), Dr. Shiskha Prabawaningtyas (Universitas Paramadina), Dr. Francis Gealogo (Ateneo de Manila University), Dr. Riza Noer Arfani (Department of International Relation UGM), Dr. Nina Mariani Noor (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta), and Mr. Ariel Lopez, MA (University of the Philippines Diliman). Faculty members from the Department of History UGM; Prof. Bambang Purwanto, Dr. Sri Margana, and Dr. Farabi Fakih also contributed on teaching process of the summer school. Participants also obtained valuable opportunity to listen a presentation brought by Mr.Wahyu Susilo, activist of Migrant Care, organization that deals with migrant worker issues.

    Apart from interactive classroom sessions, participants of the summer school also went for temple trip and bicycle city tour to observe closely tangible heritage that has transnational characteristics in Yogyakarta. During two days trip, participants accompanied by organizers and student buddies visited Plaosan Temple, Sambisari Temple, Tjen Ling Kiong Chinese Temple (Klenteng Poncowinatan), and Santo Yusup Catholic Church at Bintaran among others.

    Participants of the summer school were also required to do group project about transnational history. For this matter, participants went for field research to collect primary data regarding their project. Representatives of group presented their result in the last day of the summer school as a follow up of their field research. Themes chosen by participants of the summer school were not only thought-provoking but also incited rigorous discussion in the class. Group 1 chose jamu as core topic of their paper although interestingly explained it through friction between traditional medicine vs western medicine, Group 2 raised “sensitive” issue on Papuan student and their survival strategy in Yogyakarta, Group 3 investigated transnationality of Ramayana and proven that Ramayana is a shared among Southeast Asian citizens, Group 4 discussed street food and its encounter with global obsession, Group 5 researched on bakpia as a product of cultural interaction between Chinese diaspora with indigenous community, whereas Group 6 paid close attention to batik and its transnational characteristic that is manifested on their pattern and coloring among others.
    Dr. Sri Margana, Head of History Department as well as Chief Organizer of the Summer School, emphasized that UGM and partnering universities committed to continue the summer school in upcoming years. “We would raise the same issue; transnational history but certainly with more professors, richer themes, and more diverse participants” stated Dr. Sri Margana in front of participants on the closing remarks. [Sej/Ody]

    Summer School on Transnational History: Becoming a Cosmopolitan Historian

    agendasummer school Selasa, 15 Mei 2018

    Organized by History Department, Faculty of Cultural Sciences and Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Gadjah Mada

    Transnational history has produced a significant body of work since its development in the late 1980s and early 1990s. This approach owed its inception as part from the shift from political history that was comfortably located within the national narrative toward social and cultural history in the 1970s and 1980s that developed perspectives such as race, ethnicity, class, and gender that was localized and non-national. These developments, unfortunately, had worried historians because of the parochial and antiquarian nature of local histories. The early 1990s and 2000s saw the publication of David Thelen’s Toward the Internationalization of American History and Thomas Bender’s Rethinking American History in Global Age from which efforts to provincialize and denationalize American history has pointed the way for a true dialogue of experts from all parts of the world in imagining differential spaces other than that of the nation-state. This is needed in order to construct an American historiography that could meet the current needs of a globalizing world and place it with emphasis on a perspective of the future. Instead of focusing on local phenomenon, the emphasis was on understanding social, cultural and political ones as a transnational process; reconceptualizing identities, communities, and products within different transnational framework; for instance, Hollywood movies as it was received and recreated on other parts of the globe and thus seeing it not merely as an American cultural product, but a wider globalizing phenomenon.  Bruce Mazlish and Ralph Buultjen’s edited volume Conceptualizing Global History expands this further by bringing forth ideas in developing global narratives of local or non-national identities and spaces. Two approaches that were identified by Thelen has been to focus on either borderlands, as liminal spaces in which national units undergo transformative shifts, and the comparative approach, not merely as a means for national historians to compare each other’s narratives but to create new perspective altogether that is both national and international.

    Prasenjit Duara points to the political nature of the act of transnational history. “For me, personally, this reevaluation is necessary to counter the growing trend of ultranationalists, intolerant groups in many parts of the world, such as Japan and India, who are seeking to rewrite textbooks and otherwise seize control of the vast machinery of historical pedagogy established over the past twentieth century.” This warning, published in a book edited by Thomas Bender in 2002, seems prescient today in 2018 when the growth of nativist and anti-globalist discourse has transformed the political landscape of many countries and pushed forth the rise of neo-fascist movements. This reevaluation mainly occurs by training historians themselves to have an internationalist outlook and be cosmopolitan. Cosmopolitan in the sense that their view of history should always place them both in a national and international perspective. As Bender points out “the true cosmopolitan must cultivate a doubleness that allows both commitment and distance, an awareness at once of the possible distance of the self and of the possibility of dialogical knowledge of the other.” Transnational history does not intend to disqualify national history, but to enrich its perspective by allowing other non-national perspectives to have a voice in what Duara has called the ‘machinery of historical pedagogy’ – an important tool in which ordinary people use to develop the boundaries of their identities. As Ernst Renan noted, the national narrative requires a degree of forgetting. This act of forgetting has always been violent with significant long-term implications.

    Creating a sense of cosmopolitan distance requires moving one’s self, both spatially, but more importantly, socially and culturally, from one’s national zone. Distancing oneself from the national narrative and its ever-present gaze require meeting students from other identities with their own narratives and gazes. The Summer School to be held at Universitas Gadjah Mada is both a cosmopolitan and denationalizing exercise; gathering students from around the world in order to facilitate that transnational dialogue. The exercise is also meant to try and practice the transnational gaze, reconceptualizing identities in a local manner and identifying transnational relations; looking at the presence of their locality in the spaces and history of Yogyakarta. The students will be trained to identify local narratives and identities in the vicinity of the city of Yogyakarta but also identifying possible transnational connections to their countries or to a more global phenomenon. For instance, looking at the relationship between Yogya’s Buddhist communities and phenomenon with those of other communities in Southeast Asia, analyzing Asian popular culture and how it is received by people in the city in the form of cosplays, how has Western romantic idea of the East in the form of the hippy trail resulted in the rise of tourism and how hippy culture affected the local art scene in Yogya, how has Chinese cuisine affected local food items in comparison to other parts of the world, in what way has the global resurgence of political Islam since the 1970s affected the rise of alternative local Muslim outside of NU and Muhammadiyah and its comparison with the scene from other countries. By localizing these transnational nodes within the fabric of Yogyakarta’s urban space, it interrogates these spaces and push for the emergence of new, transnational narratives from them. The transnational approach allows such a local and semi-isolated place like Yogyakarta to be a rich node of global processes because its framework inherently decenter nodal connections. It also allows us to see in what way has Europe, Australia, Thailand, Vietnam, Malaysia, the Philippines and so forth are reflected in the history and identity of Yogyakarta. Such exercise will allow students to identify transnational connections within their own local and national histories.

     

    Course Description

    Gaining a cosmopolitan and transnational perspective on place and history allows a rethinking of identities and boundaries that creates a multicultural and multi-narrative reading of current and past realities. This ability is important in today’s world of increasing sectarian and nationalist polarization, producing important counter-narrative that is local, national as well as transnational in scope.

     

    Learning Outcome

  • To emphasize understanding about history and transnationalism in Southeast Asia
  • To discuss contemporary issues related to transnationalism in Southeast Asia in culture, social and religion context.
  • To emphasize understanding about transnationalism process network in Southeast Asia.
  • read more

    123

    Berita Terakhir

    • Undangan Menjadi Asisten Penelitian: Tracing Irrigated Agriculture in the Indonesian Archipelago
    • Call for Applications: Re:Sound Fellowship Programme (2025)
    • Departemen Sejarah UGM Menggelar Konferensi Sejarah Lingkungan Kedua Bertajuk Locality, Ontologies and Environmental History
    • Call for Applications: PhD Programme in Sound Heritage Studies
    • Dr. Sadiah Boonstra’s Public Lecture: Rethinking the Future of Repatriated Objects

    Arsip

    • Oktober 2025
    • Juli 2025
    • Maret 2025
    • Februari 2025
    • Desember 2024
    • November 2024
    • Oktober 2024
    • September 2024
    • Agustus 2024
    • Juli 2024
    • Juni 2024
    • Mei 2024
    • April 2024
    • Maret 2024
    • Februari 2024
    • Januari 2024
    • Desember 2023
    • November 2023
    • Oktober 2023
    • September 2023
    • Agustus 2023
    • Juli 2023
    • Mei 2023
    • Februari 2023
    • Januari 2023
    • November 2022
    • Oktober 2022
    • September 2022
    • Agustus 2022
    • Juni 2022
    • Mei 2022
    • Desember 2021
    • November 2021
    • Oktober 2021
    • September 2021
    • Agustus 2021
    • Mei 2021
    • April 2021
    • Maret 2021
    • November 2020
    • Agustus 2019
    • Maret 2019
    • Desember 2018
    • November 2018
    • September 2018
    • Mei 2018
    • September 2017
    • Juli 2017
    • Mei 2017
    • April 2017
    • Maret 2017
    • Februari 2017
    • Januari 2017

    Kategori

    • agenda
    • alumni
    • beasiswa
    • berita
    • lowongan
    • penelitian
    • pengumuman
    • selisik
    • summer school
    Universitas Gadjah Mada

    Departemen Sejarah

    Fakultas Ilmu Budaya

    Universitas Gadjah Mada

    Gedung Soegondo, Lantai 3
    Jl. Sosiohumaniora, Bulaksumur Yogyakarta
      +62 274 513 096
    +62 813 1444 4274
      sejarah@ugm.ac.id

    Akademik

    • Program Sarjana
    • Program Magister

    Berita & Agenda

    • Berita
    • Agenda

    Tentang

    • Staf
    • Departemen
    • Fakultas
    • UGM

    Ikuti Kami

    Sejarah UGM

    Sejarah UGM

    Sejarah UGM

    © 2025 | Departemen Sejarah UGM

    BeritaAgenda

    KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY