Peneliti senior Royal Netherlands Institute of Southeast Asian Caribbean Studies yang berbasis di Leiden (KITLV), Marieke Bloembergen, pada Kamis (20/4) memberikan kuliah umum tentang jaringan ilmiah, agama, dan gerakan spiritual India. Kuliah umum diselenggarakan oleh Departemen Sejarah FIB UGM bertempat di Ruang Sidang I, Gedung Purbatjaraka FIB UGM. Kuliah umum kali ini mengangkat tema “Beyond A Dutch Empire, Beyond Indonesia? : Scholarly and Religious Networks, Spritual Pergerakan and Moral Geographies Of Greater India Across Decolonization, 1920’s-1980’s” dan diikuti oleh mahasiswa FIB berbagai strata.
Marieke menjelaskan tentang sebuah jaringan dan ide spiritual pergerakan yang berkembang di Asia –di luar kekuasaan kolonial Belanda- dan bagaimana ide-ide itu memengaruhi negara-negara koloni bawahan Belanda, termasuk Hindia Belanda. Jaringan itu terkait tentang gagasan agama dan spiritual yang berasal dari India –terutama para revivalis Budha. Spiritual pergerakan tidak diartikan sebagai ‘movement’ sebagaimana dalam gerakan sosial, namun lebih kepada ranah pemikiran. “India memengaruhi pemikiran orang-orang di Hindia Belanda bahkan sejak awal abad 20” jelas Marieke.
Bagi para Indologis Eropa yang dikirim ke wilayah Asia selatan, tenggara, dan kepulauan Nusantara, jaringan itu terlihat lebih rumit. Karena tidak hanya melibatkan negara-negara di Asia saja, namun Amerika. Marieke menuturkan jaringan spiritual itu merupakan bentuk yang lain dari jaringan teosofi Internasional.
Pada 1875, di New York jaringan masyarakat teosofi Internasional didirikan. Tidak berselang lama jaringan teosofi ini lalu mendirikan cabang di India, tepatnya di Adyar. Yang menjadi menarik, kata Marieke, ada semacam silang ajaran antara pemikiran teosofi dan budhis. Dalam artian lain, ajaran teosofi menjadi salah satu bagian gerakan revivalis budha yang menjadi corong perjuangan India nantinya. Gerakan ini yang kemudian melahirkan nama Kalidas Nag, R.C. Majumdar, dan peraih nobel sastra asal India Rabindranath Tagore.
Sementara itu jejak spiritual India dan pemikirannya masih bisa terlacak di Hindia Belanda. Pada 1927, Rabindranath Tagore berkunjung ke Candi Borobudur. Dalam benak Rabindranath tentang Indonesia kala itu, sebagaimana tersirat dalam suratnya yang tertanggal 16 September 1928, ia mengaggumi negeri kepulauan itu dan menganggap ada semacam ikatan batin dengan India.
Dalam suratnya Tagore menulis “…Ada banyak bidang yang belum dijelajahi di pulau kepulauan ini, yang telah mempelajari dan menafsirkan tradisi kuno negara kita. Dan tentu saja, ada tugas wajib bagi cendekiawan hindhu, untuk membuat orang-orang kepulauan ini menyadari pentingnya warisan mereka sepenuhnya. Inilah yang memukul hati saya selama kunjungan terakhir saya ke Jawa dan Bali dan saya sering merindukan untuk ke sana lagi…”. Marieke melihat bahwa Tagore bersimpati pada negara kepulauan nusantara itu, karena tidak merdeka atas dirinya sendiri. Hal yang sama ia lakukan di India atas ketidaksesuaiannya pada pemerintah Inggris (di India), sebelum akhirnya memutuskan bergabung mendukung Mahatma Gandhi dalam gerakan pembebasan India.
Di sisi lain, jejak para pemikiran spiritual India juga bisa dilacak dari penerbitan buku cetak pada pertengahan abad 20 di Hindia Belanda. Pada 1933, Balai Pustaka menerbitkan karya Tagore yang sudah dialihbahasakan berjudul, Didalam dan diloear Lingkungan Roemah Tangga. Buku itu diterjemahkan oleh Muhammad Yamin. Selain itu, sebuah loji masyarakat teosofi juga ditemukan di Solo. Loji itu dibangun sejak 1904.
Hal yang menarik adalah, menurut Marieke, setelah kolonial usai terdapat pertanyaan-pertanyaan yang muncul terkait jaringan spiritual India yang menjalar sampai Asia itu. Ia kemudian melanjutkan bahwa para ilmuwan, guru, dan pencari spiritual yang mengikuti jejak Tagore di tahun 1920 semacam mengalami kebingungan menangkap semangat dan esensi ajarannya. Sebab pasca kolonial, banyak bermunculan ide untuk mengembalikan identitas diri pasca kolonial. Puncaknya pada 1960 dan 70an, usaha pencarian menangkap sejarah atau esensi budaya, spiritualitas, dan agama yang ‘khas’ Asia dilakukan secara masif dan besar-besaran. (Sej/Bagus)