Peter Boomgaard menjadi penting dalam perkembangan historiografi Indonesia. Bagi beberapa sejarawan kepakarannya dalam memelopori sejarah lingkungan merupakan perlawanan. Ia memberikan alternatif historiografi arus utama –yang dulu cenderung militeristis dan politis. Mengapa historiografi lingkungan ini menjadi unik? Gagasan Boomgaard tidak lagi menempatkan relasi manusia antar manusia -yang menjadi corak historiografi politis, militer, atau pun pada perkembangan selanjutnya sosial. Sejarah bukanlah perihal perang, dan kekuasaan. Peter Boomgaard tidak menihilkan peran manusia, karena manusia merupakan elemen penting dari sejarah. Akan tetapi, -melalui ide sejarah lingkungan- ia mempunyai gagasan bahwa sejarah juga adalah relasi manusia dengan alam. Maka sejarah mempunyai kemungkinan interdisipliner yang lebih luas, bahkan termasuk ranah sains tidak lagi terpaku pada pendekatan ilmu sosial saja. Maka sejarah bisa membahas tentang relasi manusia dengan alam : interaksi dengan fauna, bencana alam, dan sejarah tentang wabah penyakit.
Kepakaran Peter Boomgaard tidak hanya layak untuk dikenang, namun perlu diapresiasi dengan tinggi. Apresiasi itu berupa pengkajian lagi ide-ide beliau. Berangkat dari hal itu, Departemen Sejarah FIB UGM melaksanakan acara “In Memoriam Peter Boomgaard” dengan mengusung tema “Manusia, Lingkungan, dan Harimau : Pengaruh Warisan Peter Boomgaard dalam Kajian Sejarah dan Ilmu Sosial”. Acara dilaksanakan pada Kamis (6/2) di Ruang Multimedia, Gedung Margono, lt. 2, FIB UGM. Beberapa presenter mengisi acara tersebut diantaranya : David Henley dari Universitas Leiden, Marrik Bellen dari KITLV, Didik Raharyono seorang ahli pengkajian Harimau, dan Sri Margana dari Departemen Sejarah FIB UGM. Presentasi itu dimulai pukul 09.30- 16.30 WIB.
Rekam Jejak Peter Boomgaard
Selama hidupnya Peter Boomgaard (1946-2017) pernah menjadi Profesor Emeritus Sejarah Lingkungan dan Sejarah Ekonomi Asia Tenggara, khususnya Indonesia, di Universitas Amsterdam. Selain itu beliau adalah peneliti senior di KITLV. Beberapa dekade terakhir ia tertarik pada kajian sejarah kehutanan dan lingkungan. Selain itu ia menaruh minat pada konsentrasi sejarah medis. Untuk yang terakhir ini, beliau pernah melakukan serangkaian riset tentang Sejarah Kusta di Indonesia dan Suriname pada 1800-1950. Di sisi lain ia merupakan koordinator untuk EDEN (sebuah program penelitian dari KITLV). Program tersebut diperuntukkan untuk semua riset yang berkaitan dengan sejarah lingkungan di Indonesia pada 1600-2000.
Karir Peter Boomgaard tidak cukup sampai disitu. Pemikirannya sangat berpangaruh. Terutama pada beberapa lembaga pendidikan yang pernah ia emban. Beliau pernah memegang posisi penting di Universitas Erasmus, Rotterdam, Vrij University Amsterdam, dan Royal Instiitute Of Tropic (KIT). Tidak cukup sampai disitu, Peter Boomgaard pun pernah menjabat sebagai Direktur KITLV dari 1991-2000. Selain mengajar ia tercatat sebagai anggota Asosiasi lembaga yang mengkaji tentang Asia Tenggara (EURO LAUT), dan pernah pula menjadi sekretaris pada 1992-2004. Di luar itu, dalam rentang waktu 1982-1996 ia adalah editor dan dewan redaksi dari berbagai jurnal ilmiah Internasional.
Hampir dari separuh hidupnya, ia –konsekuen- mendedikasikan dirinya (yang merupakan ketertarikannya) pada riset sejarah lingkungan terutama di Indonesia antara 1500-1950. Dalam bidang sejarah lingkungan, Boomgaard telah menulis sejarah kehutanan, tanaman, hewan liar, dan hewan peliharaan. Pada 2007 lalu, ia menerbitkan buku teks tentang sejarah lingkungan Asia Tenggara. Atas dedikasinya pada fokus sejarah lingkungan ia diganjar banyak penghargaan. Salah satunya dari Rachel Carson (sebuah perkumpulan masyarakat yang peduli terhadap lingkungan) di Munich, Jerman atas karnyanya yang memaparkan tentang Manusia, Hewan, dan Lingkungan. Lalu ia mendapat apresiasi juga dari NWO (Organisasi Belanda Untuk Riset Ilmiah) untuk karyanya tentang Sejarah Kusta di Indonesia dan Suriname, 1800-1950.
Harimau(?)
Beberapa pemateri saat itu, banyak yang mengambil harimau sebagai topik penelitian. Kurang lebih empat pemateri. Dalam catatan Peter Boomgaard harimau bukanlah topik yang asing. Frontiers of Fear karya Peter Boomgaard menyinggung tentang hama harimau. Di Priangan pada 1855 terdapat 147 orang tewas akibat wabah harimau. Topik harimau ini rupanya cukup diminati. Didik Rahardjo, yang meneliti tentang harimau Jawa memaparkan risetnya. Fakta yang cukup menarik, ia memang tidak mendapatkan harimau Jawa yang dicari. Namun, ia menjumpai bagian dari tubuh harimau. Terkadang kuku, dan kulit. Harimau jawa itu telah diburu.
Meski begitu perburuan harimau telah berlangsung lama. Sejak zaman kolonial bahkan perburuan hewan belang itu menjadi kegemaran. Di Keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta bahkan harimau mempunyai menjadi bahan tontonan. Mereka membuat lingkaran besar kemudian mereka menombak harimau sampai mati. Hal itu dinamakan “rampogan matjan”. Selain terdapat acara menombak harimau, di Vorstenlanden juga kerap mengadu domba dengan banteng –namanya Rampogan Mahesa. Ada beberapa pendapat tentang rampogan macan tersebut. Peristiwa penombakan macan dalam ranah Keraton, beberapa pendapat menyebutkan bahwa ia merupakan upacara peluruh dosa. Di sisi lain, adu antara banteng dan harimau juga ada yang menafsirkan sebagai pertarungan antara pribumi dan orang eropa. Banteng –yang lambat namun memiliki stamina luar biasa- merepresentasikan orang pribumi. Sementara itu, Harimau –yang cepat lelah- mewakili imej orang eropa.
Harimau pada beberapa hal menggambarkan sesuatu (ide) yang penting. Hubungan harimau dengan manusia, adalah cerminan juga bagaimana manusia memandang alam. Kita bisa melihat suatu pergeseran pandangan manusia. Dulu Harimau menjadi hal yang dikultuskan. Orang Jawa, pada suatu masa, menyebut Harimau sebagai Mbah atau Si Mbau Reksa. Seiring itu, ada yang menganggap harimau sebagai saudara manusia, dengan memanfaatkannya untuk kepentingan tertentu. Mungkin sama dengan ketika manusia memandang alam yang membawa manfaat untuk dirinya –misal kuda untuk dikendarai. Lambat laun, pandangan manusia bergeser bahwa alam –termasuk harimau- bernilai komersil. Ia bisa dieksploitasi.
Sejarah pada intinya bercerita tentang manusia. Tetapi Peter Boomgaard memberikan alternatif, untuk menyajikan sejarah yang lebih proporsional. Bahwa alam pun bagian dari kehidupan sehari-hari kita. Perlakuan manusia terhadap alam –fauna, tanaman, dan pada kasus tertentu melahirkan benacana alam- layak untuk ditulis dan masuk dalam historiografi. Pada akhirnya, mengenang Peter Boomgaard adalah merayakan tentang semangat historiografi lingkungan Peter Boomgaard. (Sej/Bagus)