Pasca 1998 penulisan sejarah di Indonesia berkembang pesat dengan sumber dan metode yang baru. Hal tersebut tidak berbanding lurus dengan pengajaran sejarah di ruang kelas yang tetap monoton. Tidak dihadirkannya problematika historiografi dan penulisan sejarah serta kemampuan guru dalam mengajar menjadi penyumbang tidak berkembangnya pengajaran sejarah di sekolah. Tulisan sejarah selalu mengandung batasan metodologis dan menarik untuk didiskusikan. Jika hal tersebut dihadirkan dalam pengajaran di sekolah, baik guru maupun siswa akan mampu mendiksusikan dan mengkritisi sejarah dan penulisan sejarah. Dalam kenyataannya, pengajaran sejarah di sekolah hanya menghadirkan substansi peristiwa sejarah seperti yang dituliskan dalam teks. Cara tersebut menjadikan kegiatan di dalam kelas sangat pasif, karena para siswa hanya mengulang bacaan dari buku tanpa mendiskusikan problematika historiografi dan persoalan metodologinya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan sikap kritis di kalangan siswa tentang metodologi dan historiografi ialah dengan menghadirkan berbagai tulisan yang membahas tema yang sama. Hal ini dapat menunjukkan bahwa tulisan sejarah dapat ditulis dengan perspektif yang beragam. Dalam memperbaiki kompetensi guru, kita tidak dapat terlepas dari latar belakang pendidikan yang mereka terima sebelum menjadi pendidik. Masing-masing guru dididik pada masa yang berbeda-beda. Untuk memperbaiki kualitas guru, maka harus dilakukan perbaikan pada proses pendidikan guru. “Imuwan yang Guru” dibutuhkan dalam menyelesaikan hal ini. Seseorang harus mempuni sebagai ilmuwan dalam bidangnya sebelum disiapkan menjadi guru. Mereka tidak hanya harus menguasai substansi bidang ilmu, namun juga proses metodologi dan persoalan-persoalan aksiologi ilmunya. Jika hal tersebut sudah dimiliki, maka ia akan siap menjadi guru. Dalam bidang sejarah misalnya, calon guru harus memiliki pemahaman filsafat sejarah dan metodologi sejarah.
Pendidikan di Indonesia selalu menjadikan kurikulum sebagai tolak ukur berhasil atau tidaknya sistem pengajaran. Padahal, kurikulum hanyalah benda mati, sehingga perubahan kurikulum bukanlah solusi dalam menyelesaikan masalah pendidikan. Kapasitas dan kemampuan guru adalah hal yang harus terus diperbaharui setiap detik. Jika guru tidak memiliki kebaruan ilmu sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, maka pendidikan pun tidak akan mengalami perkembangan. Hal ini menjadi jawaban, mengapa pendidikan sejarah tidak banyak mengalami perkembangan meskipun penulisan dan penelitian sejarah pasca orde baru telah berkembang pesat. Hal ini dapat menjadi bahan tropeksi pada diri sendiri sebagai guru maupun dosen, seberapa baru materi-materi yang diajarkan di kelas?
Masalah lain masalah psikologi guru dalam memberikan motivasi, baik pada dirinya maupun pada siswa. Saat ini, bidang sejarah tidak dijadikan sebagai prioritas di kalangan anak muda. Untuk dapat memotivasi anak muda dalam mencintai sejarah, guru harus lebih dulu mencintai profesinya, “Guru yang kebetulan menjadi guru tidak akan menjadi guru yang betul-betul”. Sehingga untuk dapat merespon perkembangan teknologi dan infomasi, masalah metodologi, historiografi dan kapasitas guru harus diselesaikan secara paralel.
Selengkapnya bisa dilihat dalam video berikut: