Layar proyektor memutar sebuah film dokumenter. Terlihat dalam film itu, seorang lelaki tua sedang diwawancara terkait pengalaman perang. “Pokoknya masa itu saya tidak tenang, tidak aman” katanya. Ia adalah seorang mantan veteran –yang dulunya seorang petani- yang turut berjuang dalam perang revolusi 1945-1949. Veteran itu mengatakan bahwa ia bangga dengan apa yang sudah dilakukan. Ia mengungkapkan perjuangannya dalam mempertahankan kemerdekaan. Kisahnya adalah kisah perjuangan. Tidak berselang lama sebuah film dokumenter lain diputar. Kali ini yang ditampilkan adalah seorang lelaki warga negara Belanda. Usianya hampir sama tua dengan lelaki pertama. Tetapi yang jelas, ia juga adalah veteran perang. Dulu ia tergabung dalam pasukan yang membonceng NICA untuk melakukan agresi militer. Ia menangpak para pejuang kemerdekaan. Namun, dalam penuturannya ia merasa bersalah atas tindakannya. Dalam pandangannya, apa yang dilakukan Belanda terutama pada 1945-1949 tidak bisa dibenarkan. Dua film itu menunjukkan ada dua perspektif berbeda dalam membaca sejarah ketika masa revolusi.
Selama beberapa dekade, Indonesia dan Belanda menulis sejarah secara terpisah, sehingga catatan sejarah yang ada selalu berbeda dan bertentangan. Misalnya, pada masa perang dekolonisasi Indonesia (1945-1949), Belanda menyebut tindakannya untuk menduduki lagi Indonesia saat itu sebagai ‘tindakan polisi’ atau pengamanan. Di pihak lain Indonesia menyebut Belanda telah melakukan agresi militer. Pemahaman sejarah kedua negara yang acap kali berbeda itu, kemudian mendorong Marjolein van Pagee untuk membuat membuat Histori Bersama pada 2016 silam. Sebuah yayasan yang bertujuan untuk menyajikan pengalaman sejarah dari perspektif mereka (Indonesia-Belanda) secara bersama-sama.
Pada Senin (3/4) Marjolein van Pagee, pendiri Histori Bersama, berkesempatan hadir dalam diskusi yang dilaksanakan oleh Departemen Sejarah UGM, di ruang Multimedia, lantai II, gedung Margono FIB UGM. Marjolein menceritakan tentang Histori Bersama dan hubungan historis antara Belanda dan Indonesia. “Indonesia dan Belanda, diakui atau tidak, mereka saling terkoneksi karena kolonisasi, dan itu bukanlah waktu yang sebentar” kata Marjolein. Meski begitu, Marjolein menambahkan, kedua negara mengenang sejarah dengan sudut pandang berbeda. Di Belanda, proses memahami sejarah kolonial kerap kali menimbulkan debat di dalam negeri kincir angin itu. Di sisi lain, Indonesia mungkin tidak berkepentingan untuk membicarakan itu. Kendati demikian, Marjolein menganggap sejarah perang kemerdekaan masih mendapat tempat di kedua negara. “Maka mendiskusikan sejarah kedua negara menjadi penting untuk mengurangi gap di antara kedua negara, terutama agar menimbulkan pemahaman” papar Marjolein.
Menurut Marjolein, pemahaman bersama terkait sejarah kedua negara sangat diperlukan. Hal itu berguna untuk menyembuhkan luka masa lalu kedua negara. “Di Belanda orang mengenang masa 1945-1949 dengan duka cita, bagi mereka yang dikirim ke Indonesia. Sementara Indonesia memeringati masa itu dengan pekik merdeka” jelasnya. Lebih lanjut, perempuan yang mempelajari sejarah kolonial di Universitas Leiden itu menjelaskan alasan hadirnya Histori Bersama. Yayasan itu hadir sebagai jembatan penghubung kedua negara. Saat ini Histori bersama sudah mempunyai website donasi untuk investigasi sejarah yang berisi artikel dari kedua negara. Website itu dapat di akses dengan tiga bahasa, yakni Belanda, Indonesia, dan Inggris. Karena bagi Marjolein penerjemahan menjadi penting untuk menghadirkan dialog kedua negara. Pada akhirnya, Marjoleine berharap apa yang dilakukannya dapat membantu untuk menghindari kesalahpahaman sejarah kedua negara yang saat ini masih berlangsung. Baginya, rekonsiliasi yang sejati datang setelah ada pemahaman. (Sej/Bagus)