Sabtu pagi (18/3) suasana pelataran gedung Purbatjaraka Fakultas llmu Budaya UGM mendadak ramai. Beberapa orang terlihat bersalaman lalu tertawa. Tidak sedikit pula yang berpelukan. Hari itu Departemen Sejarah UGM menggelar Reuni Akbar. Acara itu dihelat selama dua hari yakni 18-19 Maret bertempat di Fakultas Ilmu Budaya UGM. Peserta terdiri dari alumni sejarah berbagai angkatan dan strata. Panitia penyelenggara -yang terdiri dari beberapa inisiator dari kalangan alumni- mengusung tema “Masa Lalu Selalu Aktual”.
Reuni kali ini bertujuan menjaga komunikasi antara alumni sejarah dan Departemen Sejarah FIB UGM. Selain itu agenda dari Reuni Akbar adalah membahas tentang perkembangan kelimuan sejarah, profesi sejarawan dan sejarah dalam Industri kreatif. Hal ini dituturkan oleh Ketua panitia Yudah Prakoso bahwa Reuni kali ini bukan hanya ajang melepas rindu. Tetapi kita juga mendiskusikan tentang perkembangan keilmuan sejarah. “Jadi selain temu kangen juga ada diskusi yang mengangkat isu tentang kesejarahan” jelas Yudah.
Rangkaian acara Reuni dibuka dengan orasi dari beberapa tokoh penting. Dirjen Kebudayaan RI, Hilmar Farid hadir dalam acara Reuni Akbar dan memberikan orasi kebudayaan. Hilmar, yang merangkap sebagai Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) menyoroti tentang profesi sejarawan dan masa depannya. Hilmar membuka pertanyaan dengan, siapakah yang layak disebut sejarawan? Hilmar pertama-tama membedakan antara sejarah sebagai disiplin ilmu dengan sejarah (yang bernilai) sebagai profesi. Lelaki kelahiran Bonn, Jerman, kemudian menyimpulkan bahwa seseorang disebut sejarawan ialah orang yang menggunakan disiplin ilmu sejarah pada profesinya. “Seseorang yang berprofesi sejarah pasti adalah sejarawan, namun sejarawan belum tentu seorang yang yang berprofesi sejarah,” terang Hilmar. Menurut Hilmar Farid, tema dari reuni kali ini sangatlah tepat. Tema tersebut bagus untuk mendorong seseorang dari berbagai profesi tetapi menggunakan disiplin ilmu sejarah untuk mengembangkan bidang yang digelutinya. “Mimpi saya kedepan, sejarah ini bukan menjadi sub bidang yang dipelajari di univeristas, tetapi benar-benar bisa memberikan prespektif pada banyak hal,” jelasnya.
Selain Hilmar Farid, hadir pula Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden, Eko Sulistyo. Beliau menyampaikan bagaimana pendekatan sejarah digunakan pada pemerintahan saat ini, terutama dalam pembuatan visi dan kebijakan strategis pada pemerintah. Eko menyontohkan bagaimana visi Trisakti menjadi pondasi pemerintahan tentang kemandirian ekonomi, kedaulatan politik, dan berkarakter budaya. “Jadi pemerintahan saat ini adalah pemerintahan yang menggunakan pondasi sejarah sebagai acuannya. Itu terwujud dalam semangat-semangat kebijakannya” terang Eko.
Tiga Sesi Diskusi
Rangkaian acara hari pertama, setelah orasi adalah rangkaian diskusi. Setiap diskusi mengusung satu tema. Diskusi dilaksanakan tiga kali dengan pemateri dan moderator yang berbeda-beda. Pada sesi pertama diskusi mengusung tema tentang perkembangan keilmuan sejarah. Asep Syaiful Oeding (alumni) didapuk sebagai moderator. Sementara pemateri terdiri dari tiga akademisi lintas generasi ; Prof. Taufik Adullah (mantan ketua LIPI), Prof. Bambang Purwanto, dan Dr. Farabi Fakih. Dua nama terakhir adalah dosen dari Departemen Sejarah UGM.
Sementara itu untuk tema diskusi kedua, berkenaan dengan sejarah dan profesi. Ide dari sesi kedua adalah menerangkan fungsi sejarah dan pengaruhnya terhadap profesi yang digeluti saat ini. Kusuma Espe, salah satu pemateri, menerangkan bahwa pengaruh kelimuan sejarah menjadi penting dalam karirnya. Dia sekarang berkarir sebagai perwira karir Angkatan Darat dengan pangkat Letnan Kolonel. Menurut Kusuma kultur kelimuan sejarah yang mengharuskan teliti dan sabar, karena berurusan dengan arsip memengaruhi kinerja di lapangan.“ Saya menjadi tidak sembarang dalam menentukan keputusan ketika di lapangan” ujar Kusuma.
Pada rangkaian diskusi terakhir, pemateri berasal dari alumni yang bergelut di industri kreatif sejarah. Hadir sebagai pemateri Sambodo yang berprofesi sebagai kreatif beberapa acara di televisi nasional, Muhammad Nursam (pendiri penerbit Ombak), dan Erwin DJ (Pendiri Malam Museum). Masing-masing pemateri sepakat bahwa keilmuan sejarah dapat melebarkan jangkauan ke berbagai bidang. Akan tetapi, sajiannya harus berbeda dan bisa diterima masyarakat. Sambodo menyontohkan ketika ia membuat acara Opera Van Java. Sementara itu, Erwin DJ, yang bergerak di bidang museum menuturkan bahwa pembelajaran sejarah tidak boleh kaku dan membosankan. “Maka dari itu saya ajak para pengunjung untuk pergi ke museum pada malam hari. Kemudian juga buat permainan yang seru” jelas Erwin.
Acara Reuni Akbar kali ini juga berhasil memberikan luaran yang bagus. Tercatat dua buah buku berhasil dicetak. Masing-masing adalah buku direktori alumni sejarah UGM dan buku kumpulan tulisan alumni. Hasil lain Reuni akbar kali ini adalah terbentuknya satu forum untuk alumni sejarah UGM. Forum itu kemudian diberi nama Kasagama. Menurut Komang Ananda, alumni sejarah 2010, melalui Kasagama diharapkan jejaring antara Departemen Sejarah dan alumni akan semakin kuat. “Ini bagus buat terus menjalin hubungan, antara angkatan tua, muda, dan juga hubungan dengan departemen sejarah UGM, khususnya” kata Komang. (Sej/Bagus)