Eksploitasi terhadap perempuan menjadi budak seksual, pada masa pendudukan Jepang adalah suatu rangkaian sistem yang terencana dan terorganisir. Saat perang Asia Timur Raya, Jepang menyadari kebutuhan mendasar bagi para tentara. Hal yang memungkinkan saat itu adalah menggunakan perempuan pribumi sebagai ‘comfort women’ (wanita penghibur). Hal itu diutarakan Katherine Mc Gregor dalam kuliah umum yang diadakan oleh Departemen Sejarah FIB UGM, pada Selasa (25/4), di Ruang Multimedia, gedung Margono lt. 2, FIB UGM.
Pada kesempatan itu Katherine memberikan kuliah umum dengan topik “Piecing Together The Threads Of The So-Called ‘Comfort Women’ System During The Japanese Occupation Of Indonesia”. Perempuan yang juga Profesor di Melbourne Universtity Australia ini, menguraikan dengan detail sistem perbudakan seksual masa pendudukan Jepang. “Jadi apa yang terjadi pada perbudakan seksual perempuan pada masa Jepang itu merupakan sesuatu yang terencana” ungkap Katherine.
Lebih jauh Katharine menerangkan bahwa Jepang memberlakukan seleksi pada perempuan-perempuan tersebut. Setiap perempuan kemudian digolongkan berdasarkan kecantikan. Mereka kemudian dipaksa melayani para tentara. “Perempuan untuk para perwira dan prajurit, berbeda” jelasnya.
Mayoritas perempuan yang dijadikan budak seksual atau disebut Karayukisan diambil secara paksa dari keluarga mereka di desa-desa. Pada masa pendudukan Jepang, langkah awal adalah membuat stratifikasi masyarakat. Orang-orang Eropa kemudian dikirim ke kamp-kamp interniran, termasuk para perempuan Eropa. Sementara bagi masyarakat pribumi nasibnya tidak jauh lebih baik. Pihak perempuan mereka dijadikan budak seksual (karayukisan). Beberapa juga mengalami kekerasan berupa pemerkosaan–karena dilakukan secara terpaksa.
Dalam melihat sistem yang bekerja pada masa pendudukan Jepang, Katharine menelusuri dokumen-dokumen dan catatan dari tentara Jepang yang tersisa dari Perang Asia Timur Raya. Selain itu juga menggunakan memori yang tersisa dari perempuan yang selamat. “Saya bertanya tentang ingatan Indonesia saat pendudukan Jepang, dan terutama kesaksian korban perempuan, yang sebagian besar masih hidup, saat empat puluh tahun setelah perang, mengungkapkan tentang konteks pendudukan dan bagaimana dan mengapa perempuan ditipu kemudian dipaksa, bekerja di sistem perbudakan seksual itu” papar Katharine.
Di sisi lain, Katherine juga menggunakan pelbagai media, termasuk film, untuk mengerti realitas zaman itu. Salah satunya adalah film dokumenter yang digarap oleh Kana Tamoko, pada 2011, yang berjudul Mardiyem.
Meski begitu, ada perbedaan antara perempuan sebagai pekerja seksual (karayukisan) –termasuk didalamnya Jugun Ianfu- dan perempuan penghibur (geisha). Kata Geisha merujuk pada perempuan yang mempunyai keterampilan dalam seni –tari ataupun tarik suara. Mereka adalah pekerja seni, dan mempunyai lisensi yang legal. Dan itu adalah pekerjaan utama mereka. “Kendati pada beberapa kasus juga terdapat geisha yang menjadi pekerja seks, namun sekali lagi itu bukan pekerjaan utama mereka” jelas Katherine. (Sej/Bagus)