Tentang Summer School
Sebagai kelanjutan dari summer school tentang lingkungan yang telah diselenggarakan dengan sukses tahun lalu di Departemen Sejarah UGM, summer school tahun ini mengangkat tema tentang ekologi manusia dalam menghadapi tantangan penciptaan governance lingkungan baru untuk abad ke-21. Merujuk kembali pada kritik capitalocene terhadap permasalahan governance lingkungan yang dibentuk oleh kapitalisme pada abad ke-20 dan 21, summer school ini bertujuan untuk mengeksplorasi akan bentuk-bentuk ontologi pemerintahan lingkungan yang di luar dari ekstraktivisme kapitalis and modernisasi negara. Disini, kita akan menelusuri dan mengingat kembali cerita dan pengetahuan yang telah lama disimpan dalam memori kolektif kultural bangsa Indonesia – serta membayangkan bentuk-bentuk kebangsaan dan kewarganegaraan ekologis yang berakar dari tradisi dan pemahaman lokal.
Kurikulum tahun ini menggunakan perspektif ekologi manusia yang telah dikembangkan oleh bapak ekologi Indonesia, Otto Soemarwoto, yang menempatkan manusia Indonesia sebagai bagian dari jaringan ekologi Indonesia. Berbeda dengan pandangan konservasi ekologi Barat yang membayangkan akan hutan, lautan dan lingkungan ‘asli’ tanpa manusia, maka pak Otto membayangkan bahwa manusia itu sendiri merupakan salah satu spesies utama yang telah menempatkan dirinya dalam jaringan ekologis alam. Penyelesaian permasalahan climate governance di abad ini, harus berbasis pada pemahaman akan sentralitas manusia dalam jaringan ekologi tersebut. Tanpanya, pandangan ekologis dan gerakan lingkungan akan punya kecendrungan anti-manusia. Tanpa membayangkan kepemilikan bersama ekologi manusia secara bersama, maka kepedulian dari masyarakat, khususnya di Selatan, akan mengancam kegagalan proses perubahan peradaban ini. Pandangan yang menghapus manusia dari alam itu berkembang pada zaman imperialisme Eropa dan berkaitan erat dengan ide rasis Barat bahwa permasalahan ekologis alam utama adalah keberadaan daripada orang-orang pribumi didalamnya.
Ekologi manusia membayangkan bahwa peradaban manusia dari awal tidak bisa dicerabut dari eratnya hubungan manusia dengan plasma nutfah biologis serta materi geologis dan aliran energi yang menaungi keseluruhan dari alam yang menaunginya. Manusia harus belajar untuk menciptakan hubungan harmonis dan saling menguntungkan dengan jaringan tersebut; ia belajar untuk menghormati binatang, tumbuhan dan bentang alam yang ada dalam tanah airnya, beserta aliran-aliran energi yang datang dari dalam bumi, dari langit dan juga dari aliran matahari dan air yang mengalir dalam beragam bentuk: hujan, sungai, air tanah dan lain-lain. Manusia membangun jaringan ekologis itu yang dibawanya ketika ia pindah; ketika nenek moyang Austronesia kita migrasi dari Taiwan, maka kita membawa serangkaian sekutu binatang dan tumbuhan yang mengubah alam tempat tujuan migrasi tersebut. Dari padi, umbi, kerbau, anjing, babi dan lain-lain, nenek moyang kita tidak hanya terdiri dari manusia saja, melainkan jaringan manusia dengan mahluk alamnya. Kolonialisme sering dianggap sebagai kolonisasi ekologis dan, dalam ekspansi Barat, menggunakan bioteror – seperti virus dan bakteri – pada ekologi manusia lainnya. Program transmigrasi, sebagai contoh, mengandalkan pula serangan ekologis. Kolonisasi pribumi berbentuk pencerabutan dan penghancuran jaringan ekologi manusia yang telah menaunginya selama ini; contoh pembantaian kawanan bison yang berjumlah ratusan juta di padang rumput benua Amerika Serikat bertujuan untuk menghancurkan basis ekologis untuk kebudayaan pribumi Amerika.
Sumber dari ekologi manusia ada di masyarakat. Tetapi hal ini seringkali tersembunyi diakibatkan oleh pencerabutan dan keterputusan ekologi kultural ini sebagai akibat dari ekspansi kapitalis ekstraktivis dan modernisasi negara. Proses traumatis ini mendefinisikan ekologi manusia sebagai sebuah penyakit, sesuatu yang bermasalah dan sesuatu yang harus diberangus. Orang yang menjadi juru kunci pengetahuan ekologi manusia dianggap sebagia orang kolot dengan pengetahuan tradisional yang tidak ilmiah dan omong kosong. Kapitalisme dan modernitas membayangkan bahwa alam bisa diintegrasikan dalam proses dan aliran peradaban manusia – dan sehingga manusia tercerabut dari ekologinya. Kohei Saito mengingatkan kita bahwa ketercerabutan ini sudah disadari oleh pemikir abad ke-19-pun dan bahwa revolusi keluar dari kapitalisme harus berbasis pada kesadaran untuk memasukkan kembali lingkungan dalam aliran peradaban kita.
Ada tiga pendekatan yang akan dipakai dalam summer school ini:
- Pendekatan site-centered learning
- Pendekatan sejarah/historical documents/oral sources
- Pendekatan multidisiplin
Bagi yang berminat untuk mengikuti summer school ini, silakan mendaftar melalui link di bawah ini:
Pemateri
- Prof. Gerry van Klinken (University of Queensland/KITLV)
- Prof. Diana Suhardiman (KITLV)
- Prof. Dr. Nawiyanto (Departemen Sejarah, Universitas Jember)
- Dr. Agung Wardana (Departemen Hukum Lingkungan, Universitas Gadjah Mada)
- Dr. Guanmian Xu (Departemen Sejarah, Peking University)
- Dr. Harro Maat (Wageningen University)
- Dr. Farabi Fakih (Departemen Sejarah, Universitas Gadjah Mada)
- Siti Nurleily Marliana, M.Sc., Ph.D. (Departemen Biologi, Universitas Gadjah Mada)
Ketentuan-ketentuan
- Summer School ini akan menggunakan pengantar bahasa Inggris dan Indonesia;
- Hanya sekitar 30 pendaftar yang akan diterima sebagai peserta;
- Biaya keikutsertaan sebesar Rp 500.000,00 dibayarkan ketika dinyatakan lolos seleksi penerimaan peserta;
- Panitia akan menghubungi para peserta yang lolos melalui email yang telah dicantumkan dalam formulir pendaftaran;
- Panitia tidak menyediakan akomodasi (penginapan) dan transportasi untuk peserta selama summer school berlangsung kecuali yang digunakan untuk kunjungan lapangan.
Terakhir diperbarui: 2 Juni 2024
Gambar: Erupsi Bromo [Sekitar 1910] (http://hdl.handle.net/1887.1/item:843182)