“Peran penting film dokumenter pada masa pendudukan Jepang di Indonesia” menjadi topik bahasan utama dalam webinar yang diselenggarakan oleh Departemen Sejarah FIB UGM pada Rabu, 31 Maret 2021. Dalam diskusi webinar yang bertajuk “Di Bawah Terang ‘Cahaya Asia’: Film Dokumenter di Masa Pendudukan Jepang di Indonesia 1942-1945” ini sukses dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan dan institusi. Dalam diskusi webinar ini hadir Dr. Budi Irawanto sebagai pembicara dan Dr. Abdul Wahid sebagai pembahas. Kemudian untuk mengatur jalannya diskusi yang berlangsung selama 1 jam 30 menit mulai pukul 15.00 hingga pukul 16.30 ini maka turut hadir Julianto Ibrahim, M. Hum selaku moderator webinar.
On March 23, 2021, the Department of History, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada just held a book launch event for Prof. Dr. Djoko Suryo and Dr. J. Thomas Lindblad. The book launch event entitled, “Exploitation, Modernization, and Development: Socio-Economic Changes in Rural Java in Colonial and Post-Colonial” was carried out online and offline by taking place in the chairman courtroom. At the launch of this book, Prof. Dr. Djoko Suryo, who was accompanied by his wife, was also present in the chairman courtroom along with the lecturers of the Department of History, UGM, represented by Dr. Abdul Wahid, M. Hum, M. Phil., Dr. Farabi Fakih, M. Phil., Dr. Sri Margana, M. Phil., and Dr. Mutiah Amini, M. Hum. Then on the sidelines of the book launch event, sharing activities and gatherings were also held between the lecturers, which during the pandemic period was difficult to hold face-to-face meetings. (Adit)
Pada 23 Maret 2021, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada baru saja mengadakan acara peluncuran buku persembahan bagi Prof. Dr. Djoko Suryo dan Dr. J. Thomas Lindblad. Acara peluncuran buku yang berjudul, “Eksploitasi, Modernisasi, dan Pembangunan: Perubahan Sosial Ekonomi Pedesaan Jawa pada Kolonial dan Post-Kolonial” ini dilaksanakan melalui daring dan juga luring dengan mengambil tempat di ruang sidang pimpinan. Pada acara peluncuran buku ini, Prof. Dr. Djoko Suryo yang ditemani oleh istri turut hadir di ruang sidang pimpinan bersama dengan para dosen Departemen Sejarah FIB UGM yang diwakili oleh Dr. Abdul Wahid, M. Hum, M. Phil., Dr. Farabi Fakih, M. Phil., Dr. Sri Margana, M. Phil., dan Dr. Mutiah Amini, M. Hum. Kemudian disela-sela acara peluncuran buku ini juga dilakukan kegiatan sharing dan temu kangen antar dosen lain yang selama masa pandemi sulit untuk melakukan pertemuan tatap muka. (Adit)
About the Scholarship
In order to encourage the continuation of the tradition of historical study about Independence Revolution, Department of History developed a special program in the form of research scholarships for master and doctoral students. This program is aimed to research, write scientific publication, or final assignments about the period of the Indonesian Revolution in the years 1945-1949. this research scholarship scheme is the part of cooperation collaborative research program between Department of History UGM and KITLV Leiden “Proklamasi Kemerdekaan, Revolusi, dan perang di Indonesia, 1945-1949”. this scholarship program will be held at odd semester of academic year 2020/2021 and 2021/2022/
Research Theme
The big theme of this research scholarship program is “Indonesia Revolution 1945-1949 in regional and global context”. the theme included, but not limited, to this aspects: social, culture, art, ethnicity, economy, religion, diplomation, politic, government, logistic, transportation, technology, military, gender, family, minority, education, etc.
Terms and Conditions
Beasiswa Penelitian Program Master dan Doktor Sejarah
Universitas Gadjah Mada Tahun 2021
“REVOLUSI INDONESIA TAHUN 1945-1949”Mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Sejarah UGM minimal tahun kedua dan atau Mahasiswa Program Doktoral Ilmu-Ilmu Humaniora di UGM, serta memiliki ketertarikan dan komitmen untuk mengkaji revolusi Indonesia untuk tesis atau disertasi yang sedang atau akan dikerjakan.
Bersedia mengikuti semua program terkait dengan penelitian yang diselenggarakan dalam kerangka penelitian “Proklamasi Kemerdekaan, Revolusi dan Perang di Indonesia, 1945-1949”.
Berkomitmen untuk mengikuti semua program perkuliahan di Program S2 Sejarah, Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada dan Program Doktoral Ilmu-Ilmu Humaniora di UGM.
Menyelesaikan tesis dan/atau menerbitkan publikasi ilmiah dalam jurnal bereputasi baik nasional atau internasional.
Tidak sedang menerima beasiswa dari sumber lain.
Universitas Gadjah Mada Tahun 2021
“REVOLUSI INDONESIA TAHUN 1945-1949”
Tentang Beasiswa
Dalam rangka mendorong berlanjutnya tradisi pengkajian sejarah periode revolusi kemerdekaan Indonesia, Departemen Sejarah mengembangkan sebuah program khusus berupa beasiswa riset bagi mahasiswa pascasarjana program master dan doktoral, untuk meneliti, menulis publikasi ilmiah atau tugas akhir tentang periode revolusi Indonesia tahun 1945-1949. Skema beasiswa riset ini merupakan bagian dari proyek kerjasama penelitian kolaboratif antara Departemen Sejarah UGM dan KITLV Leiden “Proklamasi Kemerdekaan, Revolusi, dan Perang di Indonesia, 1945-1949”. Program beasiswa ini akan dilaksanakan pada semester ganjil tahun akademik 2020/2021 sampai 2021/2022.
Tema Penelitian
Tema payung program beasiswa siset ini adalah “Revolusi Indonesia 1945-1949 dalam Konteks Regional dan Global”. Tema tersebut mencakup, tapi tidak terbatas, pada aspek-aspek berikut: sosial, kebudayaan, seni, etnisitas, ekonomi, agama, diplomasi, politik, pemerintahan, logistik, transportasi, teknologi, militer, gender, keluarga, kelompok minoritas, pendidikan dan sebagainya.
Syarat dan Ketentuan
‘Memory between generations’ is a point to be discussed in the discussion which took place in the Multimedia Room, Margono Building, 2nd Floor, Faculty of Cultural Sciences UGM. More specifically, the discussion which lasted for 2 hours from 13:00 to 15:00 on Wednesday, August 21, 2019, discussed the memory of the role of women during the revolutionary period. This objective is in accordance with the title given, Dialogue of Three Generations of Women on the Indonesian Revolution. To achieve this goal, three speakers and one keynote speaker, all of whom were women, were invited to participate in this event, namely Mrs. Djuwariyah, Galuh Ambar Sasi, M.A., Shinta Dwi Nugraeni, and Dr. Mutiah Amini.
The first opportunity as a speaker was given to Mrs. Djuwariyah who shared her experience about the revolutionary period. As a witness to the history of the revolution that was born in 1933, when she was 15 years old, in 1948 to be precise, she became a member of the Red Cross who also served as a courier for the revolutionary soldiers in Yogyakarta. Now, at the age of 86 years, she is still able to tell in detail and coherently about the conditions she experienced during the revolution since the beginning she was involved in the struggle until the end of the struggle to defend the independence of the Republic of Indonesia. In addition, she was also involved in the Red Cross which served during the DI-TII period in Bumiayu. For Mrs. Dju, her nickname, the struggle during DI-TII was more difficult because the ‘enemies’ they faced were difficult to distinguish from other Indonesians. If Djuwariyah represented the early generation of the Indonesian revolutionary struggle, Galuh Ambar Sasi spoke as the second generation as an independent historical researcher. This alumni of the UGM History Masters program has an interest in women’s reactions to the proclamation and their role during the revolution. The third generation invited was Shinta Dwi Nugraeni, a student of Senior High School 2 Bantul. Shinta, who previously won first place in the 2019 National History Tour essay competition, shared her experience while studying history at school. For Shinta, the position of women during the revolutionary period was not significantly described, neither in textbooks nor in LKS books used in schools. No wonder, Shinta comments, that history is one of the most boring subjects for other students.
After the three speakers shared their experiences, Dr. Mutiah Amini, who was appointed as a keynote speaker who also has an interest in women’s history, gave responses and comments to the three speakers, especially about Djuwariyah’s experience during the revolution which will enrich the historical treasures of the revolution from a women’s perspective. Apart from that, she also spoke on a more general topic, namely the importance of women’s perspectives in history. For her, there are many historical periods that look minimal in archives but can actually be studied further. The use of symbolic sources when analyzed further will produce a very rich historical narrative.
By presenting speakers across generations, this discussion successfully taught how to interpret the role of women during the revolutionary period. [sej/habibi]
‘Memori antar generasi’ adalah poin yang ingin dibahas dalam diskusi yang bertempat di Ruang Multimedia, Gedung Margono Lantai 2 Fakultas Ilmu Budaya UGM ini. Lebih khususnya, diskusi yang berlangsung selama 2 jam dari pukul 13:00 hingga 15:00 pada hari Rabu, 21 Agustus 2019 tersebut, membahas memori tentang peran perempuan selama masa revolusi. Tujuan tersebut sesuai dengan tajuk yang diberikan, Dialog Tiga Generasi Perempuan tentang Revolusi Indonesia. Untuk mencapai tujuan ini, tiga orang pembicara dan seorang pembahas yang semuanya perempuan diundang untuk mengisi acara ini, yaitu secara berturut-turut Ibu Djuwariyah, Galuh Ambar Sasi, M.A., Shinta Dwi Nugraeni, dan Dr. Mutiah Amini.
Kesempatan pertama sebagai pembicara diberikan kepada Ibu Djuwariyah yang berbagi pengalamannya tentang masa revolusi. Sebagai saksi sejarah revolusi yang lahir pada 1933 ini, pada saat ia berusia 15 tahun, tepatnya pada tahun 1948, ia menjadi anggota palang merah yang merangkap sebagai kurir para prajurit revolusi di Yogyakarta. Kini, dengan usianya yang sudah mencapai 86 tahun, ia masih dapat bercerita dengan detil dan runtut tentang keadaan yang ia alami pada masa revolusi sejak awal mula ia ikut terlibat dalam perjuangan hingga berakhirnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Selain itu, ia juga pernah terlibat dalam palang merah yang bertugas selama masa DI-TII di Bumiayu. Bagi Ibu Dju, panggilan akrabnya, perjuangan selama DI-TII lebih susah karena ‘musuh’ yang mereka hadapi sulit dibedakan dengan orang Indonesia lainnya. Jika Djuwariyah mewakili generasi awal perjuangan revolusi Indonesia, Galuh Ambar Sasi berbicara sebagai generasi kedua sebagai peneliti sejarah independen. Alumni dari program S2 Sejarah UGM ini memiliki ketertarikan terhadap reaksi perempuan terhadap peristiwa proklamasi dan peran mereka pada masa revolusi. Generesi ketiga yang diundang adalah Shinta Dwi Nugraeni, seorang siswi SMA 2 Bantul. Shinta yang sebelumnya memenangkan juara pertama dalam lomba esai Lawatan Sejarah Nasional 2019 menceritakan pengalamannya selama belajar sejarah di sekolah. Bagi Shinta, posisi perempuan selama masa revolusi tidak digambarkan secara signifikan, baik itu dalam buku paket apalagi dalam buku LKS yang digunakan di sekolah. Tidak heran, komentar Shinta, bahwa sejarah termasuk pelajaran yang paling membosankan bagi para siswa lainnya.
Setelah ketiga pembicara menyampaikan pengalamannya, Dr. Mutiah Amini yang didapuk sebagai pembahas yang juga memiliki ketertarikan pada sejarah perempuan, memberikan respon dan komentar kepada apa yang disampaikan ketiga pembicara tersebut, terutama tentang pengalaman Djuwariyah selama revolusi yang akan memperkaya khazanah sejarah revolusi dari perspektif perempuan. Selain itu, beliau juga berbicara mengenai topik yang lebih umum, yaitu pentingnya perspektif perempuan dalam sejarah. Baginya, banyak periode sejarah yang terlihat minim arsip tetapi justru bisa dikaji lebih jauh. Penggunaan sumber-sumber yang bersifat simbolik apabila dianalisis lebih jauh akan menghasilkan narasi sejarah yang sangat kaya.
Dengan menghadirkan pembicara lintas generasi, diskusi ini dengan sukses mengajarkan cara bagaimana untuk memaknai peran perempuan selama masa revolusi. [sej/habibi]
The workshop on Monday, August 19 2019, which was held at the ISI Yogyakarta Postgraduate School was quite different from the usual History Department event. Entitled Hidden Voices: Unpacking the Jaap Kunst’s Collection on the Music of Nusantara, this workshop was held in collaboration between the Department of History, FIB UGM and the Faculty of Performing Arts, ISI Yogyakarta. As the title implies, the purpose of the workshop is to discuss possible areas of research that can be studied about the legacy of a pioneer in modern ethnomusicology studies who made Nusantara music as the object of his study.
The workshop was filled by 10 speakers who were divided into three sessions. The first session began with a presentation on ethnomusicology from Dr. Barbara Titus. As the person who now occupies the position of the late Jaap Kunst as head of Ethnomusicology at the Universiteit van Amsterdam, he not only explains about Jaap Kunst’s legacy, but also criticizes and describes opportunities for ethnomusicology studies in the future. One panel with Barbara is Dr. Citra Aryandari and three of her students from ISI Yogyakarta. They shared the reasons for their interest in studying ethnomusicology.
The second session was filled by three people, namely RM Surtihadi, M.Sn., Indra Fibiona, S.S., and Dr. Sri Margana. Surtihadi who is also a doctoral student at ISI Yogyakarta explained about the mixing of Javanese and European music at the Yogyakarta Palace, while Indra Fibiona from the Yogyakarta Cultural Value Conservation Center (BPNB) explained the biography of R.M. Djajadipoera who during his lifetime often interacted with Jaap Kunst when he visited Yogyakarta. Djajadipoera is one of the music and dance figures at the Yogyakarta Palace. Sri Margana’s presentation from the UGM History Department focused more on his research on the archives of Djajadipoera’s correspondence with Jaap Kunst. Apart from directly watching music performances, Jaap Kunst also studied music through correspondence with many music experts and the two figures he wrote to the most were Mangkunegoro VII and Djajadipoera.
Furthermore, the third session was filled by Margi Ariyanti and Henk Mak van Dijk. Margi Ariyanti is a graduate student in the Study of Performing Arts and Fine Arts/ Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (PSPSR) UGM, while Henk Mak van Dijk from the Music Conservatory of Rotterdam & the Royal Conservatory in The Hague. On that occasion, Margi tried to make a comparison between the famous Indo composer, Constant van de Wall, and Ki Hadjar Dewantara. Meanwhile, Henk who also teaches at the Muziek Academie, The Hague, spoke further about the career of one of the most successful composers. In 2007, he also published a biography of van de Wall. In addition to de Wall, Henk also mentions several composers who are similar to de Wall in mixing elements of Javanese music into European music, including a female composer born in Yogyakarta, Linda Bandara.
The ten speakers above did not only talk about Jaap Kunst individually, but also about ethnomusicology more broadly. This is in line with the event’s goal of developing, not just unlocking, the legacy of Jaap Kunst. In addition to the explanation of the knowledge requirements, the workshop participants were even more interested because the event was closed by Henk’s piano playing who performed compositions by Paul Seeling, van de Wall, and Linda Bandara. [sej/habibi]
Workshop pada Senin, 19 Agustus 2019, yang dilaksanakan di Sekolah Pascasarjana ISI Yogyakarta cukup berbeda dari acara Departemen Sejarah biasanya. Bertajuk Jejak Suara Tersembunyi: Unpacking the Jaap Kunst’s Collection on the Music of Nusantara, workshop ini diadakan atas kerja sama antara Departemen Sejarah FIB UGM dan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta. Sesuai dengan judulnya, tujuan dari workshop tersebut adalah membahas kemungkinan bidang penelitian yang bisa dikaji tentang warisan seorang pelopor kajian etnomusikologi modern yang menjadikan musik-musik Nusantara sebagai objek kajiannya.
Workshop tersebut diisi oleh 10 pembicara yang dibagi ke dalam tiga sesi. Sesi pertama diawali oleh pemaparan tentang etnomusikologi dari Dr. Barbara Titus. Sebagai orang yang kini menempati posisi mendiang Jaap Kunst sebagai kepala bidang Etnomusikologi di Universiteit van Amsterdam, ia tidak saja menjelaskan tentang peninggalan Jaap Kunst, tetapi juga mengkritisi dan memaparkan peluang kajian etnomusikologi ke depannya. Satu panel dengan Barbara adalah Dr. Citra Aryandari beserta tiga mahasiswanya dari ISI Yogyakarta. Mereka menceritakan alasan ketertarikan masing-masing untuk mengkaji etnomusikologi.
Sesi kedua diisi oleh tiga orang, yaitu RM Surtihadi, M.Sn., Indra Fibiona, S.S., dan Dr. Sri Margana. Surtihadi yang juga merupakan mahasiswa program doktoral ISI Yogyakarta menjelaskan tentang percampuran musik Jawa dan Eropa di Keraton Yogyakarta, sementara Indra Fibiona dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DI Yogyakarta menjelaskan biografi R.M. Djajadipoera yang semasa hidupnya sering berinteraksi dengan Jaap Kunst ketika berkunjung ke Yogyakarta. Djajadipoera adalah salah satu tokoh musik dan tari di Keraton Yogyakarta. Presentasi Sri Margana dari Departemen Sejarah UGM lebih fokus pada penelitiannya tentang arsip korespondensi Djajadipoera dengan Jaap Kunst. Selain dengan melihat langsung pertunjukan musik, Jaap Kunst juga belajar musik melalui surat-menyurat dengan banyak ahli musik dan dua tokoh yang paling sering ia surati adalah Mangkunegoro VII dan Djajadipoera.
Selanjutnya, sesi ketiga diisi oleh Margi Ariyanti dan Henk Mak van Dijk. Margi Ariyanti merupakan seorang mahasiswa program pascasarjana bidang Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (PSPSR) UGM, sedangkan Henk Mak van Dijk dari Music Conservatory of Rotterdam & the Royal Conservatory di Den Haag. Dalam kesempatan tersebut, Margi berupaya membuat perbandingan antara komposer Indo terkenal, Constant van de Wall, dan Ki Hadjar Dewantara. Sementara itu, Henk yang juga mengajar di Muziek Academie, Den Haag, berbicara lebih lanjut mengenai karier salah satu komposer paling sukses tersebut. Pada tahun 2007, ia juga telah menerbitkan buku biografi van de Wall. Selain de Wall, Henk juga menyebut beberapa composer yang sama seperti de Wall dalam mencampur unsur-unsur musik Jawa ke musik Eropa yang diantaranya adalah composer perempuan kelahiran Yogyakarta, Linda Bandara.
Kesepuluh pembicara di atas tidak hanya berbicara mengenai Jaap Kunst seorang, melainkan mengenai etnomusikologi secara lebih luas. Hal ini sesuai dengan tujuan acara ini yang ingin mengembangkan, bukan hanya membuka, warisan Jaap Kunst. Selain paparan syarat pengetahuan, para peserta workshop semakin dibuat tertarik karena acara ini ditutup oleh lantunan piano Henk yang membawakan komposisi karya Paul Seeling, van de Wall, dan Linda Bandara. [sej/habibi]
Being a historian in the period so called as the Industrial Revolution 4.0 – with IT as the main trend, there are certainly many new challenges that must be faced, one of which is Transnational History. Transnational History is not a new thing, but nowdays, transnational become interesting issues to discuss. Placing a local or a national history as part of global history will bring its own appeal, especially for those who have an interest in transnational issues.
On July 22 – August 2, 2019, the Department of History, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada recently held a 2nd International Summer School with the theme “Becoming a Transnational Scholar of Southeast Asia”. This summer school was attended by 35 participants from various countries around the world. The involvement of the participants with different backgrounds has added value to this program. During the program participants can exchange information about history in their country with another perspectives.
This program brought many experts who were not only from Indonesia, but also from Malaysia, Singapore, Thailand, Vietnam, Philippines, Australia, Japan and the Netherlands. The first day began with remarks given by the chairman of the committee as well as the secretary of the graduate history program of UGM, Dr. Farabi Fakih and Prof. Dr. Kathrine Mc Gregor from University of Melbourne, Australia as well as representative of partner universities in the summer school program. The program was officially opened by the Vice Dean Faculty of Cultural Sciences, Dr. Nur Saktiningrum.
Prof. Dr. Danny Wong Tze Ken from the University of Malaya started the lecture part of the program by a presentation on “Chinese in Southeast Asia in a Transnational Context”. Prof. Dr. Jos Gommans from Leiden University continue with the lecture theme “Provincializing Europe – Globalizing (Southeast) Asia”. During this program, participants will study in class and field. The field activity was held on 27-28 July by visiting six places around Yogyakarta, Cemeti Institute for Art and Society, Ketandan Village and Fuk Ling Miau Temple, Mendut Monestry, and Watukodok Beach respectively. Participants also had the opportunity to conduct group research with selected themes and present them at the end of the program.
The summer school program was officially closed by the Head of the Department of History, Dr. Sri Margana by giving a certificate of participation to all participants and committees. With the implementation of this summer school activity, students in the fields of history and social science are expected to be critically involved with transnational phenomena by analyzing their manifestations in various parts of the world.