Selasa (19/3/2024), Dr. Mirjam Lücking, seorang antropolog sosial dan budaya dari Ludwig-Maximilians-Universität München menjadi dosen tamu dalam mata kuliah History and Memory Making in Southeast Asia yang diperuntukkan bagi mahasiswa S2 Sejarah FIB UGM. Materi yang dipresentasikan olehnya berjudul Hajj Memories and Pilgrims in State Contemporary Indonesia. Materi tersebut merupakan hasil penelitian etnografinya selama 14 bulan di Jawa Tengah dan Pulau Madura.
Secara umum, Dr. Mirjam Lücking menjelaskan bahwa terjadi pola yang berulang dalam pengalaman berhaji orang Indonesia dari masa ke masa. Pertama, sejak abad ke-15 hingga kini, pola tradisi migrasi campuran masih terjadi karena terdapat tenaga kerja migran yang juga melakukan haji sekaligus. Kedua, pada masa kolonial hingga kini, terjadi komersialisasi dan privatisasi berhaji. Hal itu ditunjukkan dengan adanya penemuan kapal uap dan perusahaan perjalanan Belanda pada abad ke-19. Pada masa kini, komersialisasi digambarkan khususnya terkait dengan paket tour VIP dan umrah sebagai ziarah yang sifatnya lebih minor. Sementara itu, organisasi agama seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah pada periode 1949-1960-an menunjukkan adanya proses privatisasi.
Ketiga, wacana negara dalam kegiatan berhaji juga tidak bisa dilepaskan. Pada 1980-an, misalnya, wacana negara dalam pembangunan juga ditunjukkan dalam sebuah pidato Menteri Agama, Alamsyah Ratu Prawiranegara. Ia menyampaikan bahwa berhaji adalah salah satu mata rantai dari proses pembangunan manusia Indonesia seutuhnya sehingga berkontribusi pada pendewasaan bangsa yang maju, beriman, serta bertakwa. Lalu, dalam konteks masa kini, wacana negara dalam kegiatan berhaji ditekankan pada aspek kedamaian dan harmoni. Hal itu dijelaskan dalam sebuah buku panduan berhaji yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama Indonesia.
Dalam hal Jawa dan Pulau Madura, Dr. Mirjam Lücking membahas keterikatan lokal dalam ibadah haji di Indonesia. Haji Indonesia sangat melekat dengan kebiasaan serta tradisi mazhab Syafi’i, seperti pemujaan terhadap orang suci atau mengunjungi makam untuk berdoa di sana. Kemudian, hubungan orang yang sudah berhaji terhadap komunitas lokal terjadi dengan cara pertukaran hadiah sehingga bantuan dan respons yang baik dari masyarakat lokal pun timbul. Orang yang berhaji juga akan mendapatkan status sosial baru dengan sebutan haji/hajjah. Sementara itu, di Madura, ada konsepsi “Mafia Haji” untuk menyebut orang Madura yang pergi ke Mekkah untuk bekerja atau umroh, setelahnya baru melakukan ibadah haji.
“Penelitian beliau (Dr. Mirjam Lücking) tentang dunia Islam mengenai ritual haji sangatlah menarik. Walaupun beliau seorang antropolog, namun beliau mencoba mendisplaykan referensi mengenai Hindia Belanda. Terlebih lagi, penelitian mengeksplorasi budaya di masyarakat Madura. Madura sendiri terkenal dengan daerah yang tingkat ketaatan dalam ibadah Islam di Indonesia. Terlebih lagi fanatiknya Madura dalam ritualistik Islam menjadi bumbu dalam penelitiannya. Apalagi, salah satu basis terbesar pengikut organisasi Nahdlatul Ulama ada di Madura,” tutur Suryo Arief, mahasiswa S2 Departemen Sejarah UGM.
Penulis: Lenna Aurelia Amalia