Konferensi Bandung yang diadakan di Gedung Merdeka tahun 1955 bukan hanya merupakan momen penting dalam lintasan sejarah Indonesia tetapi juga sejarah global. Untuk pertama kalinya perwakilan pemimpin baru dari 29 negara Asia dan Afrika bertemu pasca Perang Dunia II di tanah airnya sendiri, menandakan sebuah realitas politik dan simbolis yang penting dalam kerjasama internasional baru dari Selatan. Bandung mengangkat gagasan tentang kemerdekaan, dekolonisasi, perdamaian dunia, dan kerjasama internasional. Nilai-nilai ini yang menginspirasi dan membentuk jalannya relasi dan interaksi di antara negara dan masyarakat Asia dan Afrika pada dekade-dekade setelahnya.
Sumbangsih dari Konferensi Bandung dan jaringan Afro-Asia inilah yang menjadi perhatian dari panel AAS-in Asia yang berlangsung tanggal 10 Juli 2024 “The Bandung Conference and the Visions of Afro-Asian Futures” yang diorganisasikan oleh Asssociate Professor Manjusha Nair dari George Mason University, yang juga merupakan Direktur Global South Research Hub di universitas tersebut.
Panel ini menghadirkan Christopher J. Lee, Professor Sejarah Afrika, Sejarah Dunia, dan Literatur Afrika, di The African Institute, Uni Emirat Arab, yang telah menghasilkan karya penting tentang kontribusi Bandung bagi politik dunia. Lee menyampaikan refleksinya tentang “Bandung Historicism”, menekankan bahwa sumbangsih besar Konferensi Bandung adalah ia melahirkan kesadaran sejarah bagi Dunia Ketiga untuk menghadapi masa itu dan melangkah ke depan.
Lee juga menceritakan proses melahirkan buku fenomenal yang dieditnya di tahun 2010 Making A World After Empire: The Bandung Moment and Its Political Afterlives. Ketika itu menurutnya sulit sekali mencari penerbit yang tertarik dengan Bandung karena sebuah hal yang simpel: banyak penerbit akademik yang tidak mengerti penting dan relevansinya Konferensi Bandung. Namun, saat ini situasinya sudah berubah, banyak sarjana dunia yang tertarik untuk meneliti tentang Bandung dan dampak globalnya.
Panel ini juga menghadirkan Rina Priyani dari University of California Berkeley yang meneliti tentang sejarah Gedung Merdeka, tempat dilaksanakannya Konferensi Bandung. Rina menganalisis perubahan makna dari Gedung Merdeka yang awalnya merupakan ruang sosial di masa kolonial Belanda menjadi ruang yang simbolis bagi perjuangan kemerdekaan negara-negara Asia dan Afrika di masa pascakolonial. Kemudian James Evans dari Harvard University meneliti tentang diplomasi kesehatan China dan Taiwan di masa Perang Dingin di Afrika. Ia melihat bahwa Afrika menjadi semakin sentral dalam dunia kesehatan China di pertengahan tahun 1970an.
Wildan Sena Utama dari Universitas Gadjah Mada mempresentasikan risetnya tentang partisipasi Indonesia dalam Gerakan-Gerakan Afro-Asia pasca Konferensi Bandung. Penelitian yang diangkat dari disertasinya di University of Bristol ini mengulas tentang keterlibatan aktivis anti-kolonial Indonesia dalam mendekolonisasi dunia untuk menciptakan dunia merdeka dan damai melalui penempaan solidaritas di gerakan-gerakan Afro-Asia.
Penulis: Wildan Sena Utama