Selasa (20-9), Departemen Sejarah UGM mengadakan kuliah umum berjudul Towards an End of Colonialism: Mid-Century European Photographers Working for an Independent Indonesia. Brian Arnold dari Cornell University menjadi pembicara dalam acara ini, ditemani oleh Satrio Dwicahyo, dosen Departemen Sejarah UGM. Dalam kuliah umum tersebut, Arnold berbicara mengenai kekuatan foto dan para fotografer Eropa yang berpihak kepada Indonesia.
Fotografi seringkali dipandang sebagai cuplikan suatu keadaan pada masa lalu. Dalam arsip maupun buku sejarah, ia bagaikan bukti statis yang netral atas terjadinya sesuatu. Namun, Arnold berargumen bahwa foto lebih kompleks daripada itu. Ia merupakan alat yang manjur untuk mendiseminasi pengetahuan. “Semua hal yang pernah dilalui oleh seorang fotografer memengaruhi caranya mengambil foto,” ujar Arnold. “Apa yang dibingkai di dalam foto sama pentingnya dengan apa yang tidak dibingkai di dalam foto. Semua itu menciptakan sensibilitas subjektif dalam fotografi.” Subjektivitas itu dapat muncul dalam bentuk sehalus latar belakang pemotret yang hanya mengikuti perintah atasan maupun kepentingan yang terinstitusionalisasi.
Dari masa kolonial hingga digital, fotografi dalam konteks Belanda-Indonesia mengalami dinamikanya sendiri. Sebelumnya, ia merupakan media bagi pemerintah kolonial untuk menjustifikasi penjajahan bagi publik di Belanda. Namun, seiring dengan kemunculan kamera genggam, terjadi demokratisasi fotografi. “Hal ini memberikan ruang bagi narasi-narasi kontrahegemoni,” jelas Arnold.
Terdapat dua fotografer yang dikaji dalam tulisan Arnold. Fotografer pertama adalah Gotthard Schuh. Ia seringkali dirujuk sebagai bapak modernisme. Ia ingin melihat Indonesia merdeka, sehingga ia mengambil foto dari Perjanjian Linggarjati. Keinginan ini dipengaruhi oleh pengalamannya. Ia tiba di Hindia Belanda pada tahun 1931 dan mempublikasikan karya pada tahun 1941. Namun, foto-fotonya lebih dipengaruhi romantisme alih-alih jurnalisme. Lanskap yang indah menjadi objek yang sering muncul dalam karyanya.
Perubahan mulai terlihat dalam esai-esainya. Seiring berjalannya waktu, ia menyadari eksistensi dari kompleksitas dalam kehidupan sosial di Hindia Belanda. Ia mempublikasikan karya lain berjudul Iles de Dieux pada 1954. Sejak itu, ia dikenal sebagai fotografer andal dan seorang aktivis politik. Ia menjadi fotografer dalam sebuah media berhaluan kiri di Belanda setelahnya. Latar belakang itu memengaruhi foto yang diambilnya pada kemerdekaan Indonesia dalam buku Tanah Air Kita. Dalam karya tersebut, terdapat penekanan atas tradisi kultural dan kehidupan sosial Indonesia. Aspek-aspek ini menekankan modernitas dari negara kontemporer yang baru muncul itu. “Tanah Air Kita merupakan media koneksi yang jujur antara Indonesia dan dunia luar,” jelas Arnold.
Fotografer kedua adalah Henri Cartier-Bresson. Karyanya dipengaruhi oleh kelompok surealis di Perancis yang menyatakan bahwa makna dapat diciptakan. Ia sampai di Indonesia pada 1949. Dengan pengalamannya berperang dan tertangkap oleh Jerman dalam Perang Dunia II, ia menjadi seorang pribadi yang mendukung kemerdekaan. Ia menangkap karisma Soekarno dalam fotonya. Karya lainnya, yang terkenal, juga mencakup foto ketika orang-orang Indonesia mengeluarkan lukisan pemerintah Belanda dari residensi pemerintah kolonial. “Foto-foto Bresson menggambarkan determinisme ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dan mengambil alih atas takdirnya sendiri,” jelas Arnold.
Perkembangan modernisme dalam fotografi memengaruhi jenis komunikasi dan diseminasi pengetahuan yang mengubah sistem kolonial. Ia melemparkan wacana kontrahegemoni yang berpihak kepada kemerdekaan Indonesia. “Fotografi merupakan alat yang penting untuk mengomunikasikan dan mengimajinasikan lanskap sosial dari abad ke-20,” tutup Arnold.
Penulis: Venessa Theonia