Sebuah public lecture bertajuk “Psychiatry in the Colonial Era” sukses diadakan oleh Departemen Sejarah FIB UGM pada Rabu (17/4/2024). Acara tersebut berlangsung sejak pukul 10.00-12.00 WIB di Ruang Multimedia yang terletak di lantai 2 Gedung Margono FIB UGM serta ditayangkan melalui Zoom Meeting. Marens Engelhard–seorang arsiparis dan sejarawan independen yang pernah menjadi direktur Arsip Nasional Belanda (2015-2022) menjadi pembicara dalam acara tersebut. Sementara itu, yang bertindak sebagai moderator adalah Sri Margana–seorang dosen dari Departemen Sejarah FIB UGM.
Presentasi yang dipaparkan oleh Marens Engelhard membawa diskursus baru yang masih jarang menjadi pembahasan dalam historiografi Indonesia. Ia mengangkat tema tentang sejarah psikiatri di masa kolonial, khususnya menyangkut kebijakan pemerintah kolonial terhadap para penderita gangguan jiwa ketika itu. Ia memaparkan bahwa perhatian pemerintah kolonial terhadap permasalahan kejiwaan sudah mulai muncul pada akhir abad ke-19. Hal itu dimulai dengan membangun rumah sakit jiwa di Bogor pada 1884. Ketika rumah sakit itu sudah tidak bisa menampung lonjakan pasien, rumah sakit jiwa lainnya pun didirikan di Lawang pada 1902. Setelah itu, terjadi juga Perang Aceh yang menyebabkan banyak kekacauan sehingga beberapa orang harus menderita gangguan jiwa. Akhirnya, pemerintah kolonial menampung para penderita gangguan jiwa tersebut di rumah sakit jiwa Lilipory Military Hospital di Sabang yang berdiri pada 1922. Kemudian, rumah sakit jiwa juga didirikan di Magelang pada 1923. Berbagai tempat suaka itu menjadi penampungan bagi orang-orang yang dianggap sakit jiwa karena dinilai mengancam orang lain. Selain itu, beberapa suaka transit pun didirikan di kota-kota lainnya untuk para penderita sakit jiwa, seperti di Solo, Grogol, Semarang, Medan, dan Makassar. Pasien yang tinggal di sana terdiri dari kalangan Bumiputera, Timur Asing, serta Eropa.
Kemudian, Marens juga menceritakan tentang sejarah personalnya, yaitu menyangkut kakeknya–Christiaan Frederik Engelhard. Kakeknya adalah seorang pejabat pemerintah kolonial yang mendapatkan pendidikan psikiatri di Utrecht lalu ditempatkan di Lawang. Sejak di tempatkan di sana, Kakek Cris (sebutan dari Marens untuk kakeknya) mulai mempelajari perilaku orang Jawa dan mencoba mempraktekkan ilmu yang ia dapat selama di Utrecht. Metode yang ia terapkan terhadap orang Jawa ini mengikuti model psikiatri dari Jerman. Hal itu dengan cara menunjukkan berbagai jenis gambar kepada para pasiennya untuk diidentifikasi. Di kemudian hari, hasil dari eksperimennya itu ia tulis menjadi disertasi yang dipertahankan di Universitas Leiden pada 1923. Namun, metode yang ia gunakan tersebut ternyata tidak begitu berhasil diterapkan bagi orang Jawa.
Di bagian akhir presentasinya, Marens Engelhard memaparkan tentang perkembangan psikiatri serta kaitannya dengan politik Etis. Hal itu dikarenakan salah satu aspek penting dari penelitian Christiaan Engelhard menekankan perlunya politik etis. Menurutnya, pendidikan diharapkan dapat memengaruhi orang Jawa dalam mempersepsikan sesuatu dengan baik. Namun, kesimpulan itu berbeda dengan hasil riset yang dilakukan oleh F.H.G. van Loon dan P.H.M. Travaglino yang dikenal sangat menentang politik etis. Travaglino melakukan riset terhadap psikologi orang Jawa yang dikomparasikan dengan psikologi orang Eropa. Dalam kesimpulan risetnya yang cenderung rasis, ia memberikan penilaian terhadap karakter orang Jawa. Orang Jawa dinilai memiliki daya fokus yang tinggi sehingga dapat menjaga perhatian mereka tetap terfokus pada satu titik tertentu. Hal itu, katanya, cenderung membuat orang Jawa bersifat egosentrik. Aspek selanjutnya yaitu kewaspadaan yang berarti kemampuan untuk mengalihkan perhatian dari satu kejadian ke kejadian lainnya. Orang yang dinilai sehat jiwa akan memiliki keseimbangan antara fokus serta kewaspadaannya. Orang Jawa dianggap tidak memiliki keseimbangan tersebut, sementara orang Eropa memilikinya. Selain itu, orang Jawa juga dinilai bersifat kekanak-kanakan. Lantas, sifat egosentrisme, tingkat kewaspadaan yang rendah, serta kekanak-kanakan dinilai telah melahirkan karakter orang Jawa yang buruk. Ia juga berpendapat bahwa karakter tersebut membuat orang Jawa mudah teragitasi atau gampang dipengaruhi. Oleh karena itu, ia merasa bahwa tidak ada gunanya meneruskan pendidikan yang diusung dalam politik etis dengan dasar karakter orang Jawa yang seperti itu.
Sri Margana menjelaskan bahwa secara umum kebijakan kolonial ternyata sangat dipengaruhi oleh para ahli yang memainkan peran “tersembunyi” dalam menentukan kebijakan kolonial. Hal itu misalnya ditunjukkan ketika terjadi perdebatan antara pendukung dan penentang politik etis. Dalam konteks ini, hasil riset F.H.G. van Loon dan P.H.M. Travaglino sangat berpengaruh dalam kebijakan kolonial menyangkut bidang psikiatri.
“Sikap orientalisme yang melihat secara etnosentrik dengan basis dasar yang rasis yang mengkategorikan orang Jawa sedemikian rupa juga menunjukkan atau menjadi ciri khas dari psikiatri pada masa kolonial,” pungkas Sri Margana.
Sebagaimana disampaikan di awal bahwa tema yang dipresentasikan oleh Marens masih jarang menjadi pembahasan dalam historiografi Indonesia. Dalam sebuah kesempatan, Alfian Widi Santoso menyampaikan apresiasinya terhadap Departemen Sejarah FIB UGM yang telah menyelenggarakan public lecture tersebut.
“Saya rasa semua orang juga sudah paham kali, ya, kalau webinar yang diadakan oleh UGM biasanya bagus dan out of the box. Saya sering menunggu webinar-webinarnya UGM soalnya. Dan untuk kemarin, memang secara judul nampaknya sangat umum. Tapi saya kira tema mengenai psikiatri itu masih jarang ada yang bahas. Terus, untuk materinya ternyata banyak hal baru yang belum saya temui. Nah, untuk kesannya, sih, saya cukup terkesan sama kinerja Departemen Sejarah UGM yang bagus banget dan bahkan bisa membikinkan zoom untuk yang enggak bisa datang offline. Banyak keluhan di tweet-nya Pak Margana kalau ada banyak orang yang pengin ikutan. Untuk pesan, mungkin cuma urusan teknis saja, sih, yang di Zoom suara pematerinya berisik sekali. Tapi habis itu sudah dibenerin,” ungkap Alfian–mahasiswa sejarah Universitas Airlangga yang mengikuti public lecture tersebut secara daring.
Penulis: Lenna Aurelia Amalia