Departemen Sejarah FIB UGM berkolaborasi dengan RUAS (Ruang Arsip Sejarah Perempuan) sukses mengadakan kuliah umum bertajuk ‘Documenting Social History in Indonesia: The Work of International Institute of Social History’ pada Rabu (24/4/2024). Acara tersebut digelar secara hybrid di ruang 114 lantai 1 Gedung Soegondo FIB UGM dan disiarkan melalui kanal Youtube. Eef Vermeij, seorang Collection Development Asia dari IISH (International Institute of Social History) dihadirkan sebagai pembicara untuk membagikan kisah pendirian lembaga pengelola arsip tersebut serta pengalamannya ketika bekerja di sana.
IISH atau juga dikenal sebagai IISG (Internationaal Instituut voor Sociale Geschiedenis) merupakan lembaga pengelola arsip tentang sejarah sosial-ekonomi terbesar di Amsterdam. Dalam melakukan pengelolaan arsip, IISH menyediakan suatu media penyerahan (submission) jangka panjang yang berupa arsip individu, organisasi/kelompok maupun institusi. Dorongan pendirian IISH pada 1935 dilatarbelakangi oleh sejarah fasisme Eropa yang berkembang di awal abad ke-20. Niat awal pendirian lembaga tersebut yakni untuk mengamankan berbagai jejak-jejak arsip yang berasal dari gerakan buruh di Eropa ketika itu. Pengkoleksian itu juga ditujukan untuk mengetahui bagaimana orang hidup dan bagaimana mereka melakukan resistensi atau bertahan hidup di masa-masa tersebut. Material yang dikumpulkan oleh IISH terdiri dari berbagai jenis, misalnya dokumen, surat, majalah, koran, hasil sejarah lisan, kaos, musik, film, bendera dan sebagainya.
Pada lima tahun awal pendiriannya, IISH menghadapi berbagai tantangan. Ketika itu, koleksi utama IISH berasal dari Eropa, misalnya dari Partai Sosial Demokrat di Jerman, koleksi original Marx dan Engels, serta berbagai koleksi tentang sejarah anarkis. Kebanyakan koleksi itu diselundupkan dari berbagai negara di Eropa ke Amsterdam melalui kereta api. Lalu, ada juga dokumen-dokumen dari Spanyol yang diangkut dan diselundupkan menggunakan kuda serta keledai. Selain itu, Direktur IISG yang pada masa itu merasa Belanda tidak akan bersikap netral pun menginstruksikan agar berbagai koleksi tersebut disebar ke beberapa cabang IISG dan universitas serta di pedesaan Belanda. Beberapa koleksi tersebut juga ada yang dirampok. Bahkan, pada masa perang, banyak staf IISH yang tidak selamat. IISH pun membutuhkan waktu sepuluh tahun untuk pulih dari kondisi tersebut. Pasca pecahnya Perang Dunia II, IISH meneruskan kerja-kerjanya hingga di tahun 1960-an muncul berbagai gerakan sosial di seluruh dunia. Pada 1970-an, koleksi arsip IISH bahkan didominasi oleh arsip-arsip gerakan protes.
Sementara itu, Departemen Asia sendiri didirikan pada 1996 dengan fokus awal pengkoleksian terhadap wilayah Bangladesh dan Pakistan. Eef sendiri yang awalnya bergabung dengan IISH pada 1993 mendapatkan tugas mengurus di Departemen Sosialis Jerman Kontemporer. Namun, karena ketertarikannya dengan Asia, ia pun memilih bergabung dengan Departemen Asia di tahun 1998. Salah satu tugas pertama Eef di Departemen Asia adalah mengelola proyek arsip tentang Burma. Proyek tersebut merupakan tuntutan dari para aktivis serta akademisi Burma yang merupakan kaum oposisi ketika itu. Kemudian, kantor cabang IISH di Asia pun didirikan pada 2002 yang berkedudukan di Bangkok. Eef yang pada saat itu ditugaskan di sana harus berkeliling dari Korea, Thailand, Filipina, Nepal, Kamboja dan Srilanka untuk melakukan kerja-kerja pertamanya. Ia bertahan di kantor cabang IISH Bangkok hingga kemudian kembali ke Amsterdam pada 2007.
“Perkenalan dengan IISG sebenarnya memberi kita dimensi lain tentang sejarah, paling tidak dalam sisi heuristik. Jika biasanya kita membaca sejarah itu dari kanan atau tengah, ini ada sisi lain yang sangat memungkinkan untuk dieksplor, dari kiri, dari kalangan pergerakan, trading union, mereka yang berada di bawah opresi. Harapan kita bersama tentunya adalah akan memantik lebih banyak karya-karya yang memiliki nuansa baru berupa sejarah Indonesia yang jarang dibicarakan,” tutur Uji Nugroho Winardi–dosen Departemen Sejarah UGM yang sekaligus menjadi moderator pada sesi kuliah umum kali ini.
Penulis: Lenna Aurelia Amalia