
Pada Selasa, 11 Februari 2025 kemarin, Departemen Sejarah telah mengadakan diskusi buku dan seminar nasional. Bertajuk, “Bercermin dari Kho Ho Sing: Menelusuri Hibriditas Budaya Tionghoa-Jawa dalam Sejarah Indonesia” ini terbagi menjadi dua sesi, dengan sesi pertama dimulai pukul 10.00 WIB berselang selama dua jam, dilanjutkan istirahat selama satu jam, kemudian sesi kedua dimulai pukul satu hingga acara berakhir pada pukul 15.00 WIB. Sesi pertama dibuka dengan bedah buku sekaligus peluncuran buku berjudul Raja Candu Yogyakarta: Memoir Ko Ho Sing 1823-1878. Sri Margana sebagai penyunting buku ini memberikan sebuah pengantar. Beliau memberikan pendapat bagaimana kehidupan Ko Ho Sing memberikan sebuah insiparsi dan pandangan baru yang menarik dari pengalamannya.
Dr. Leonard C. Epafras merupakan pembicara pertama dalam sesi pertama ini. Beliau mengatakan bahwa, kehidupan Ko Ho Sing ini sebagai apa yang dikatakan Carlo Ginzburg dengan sebutan micro history. Menganalisa pengalaman sejarah kecil atau orang biasa untuk menerangkan proses sejarah yang lebih besar. Setelah membaca buku ini, Dr. Epafraz berpendapat bahwa setidaknya terdapat beberapa garis besar yang menonjol. Pertama, pengalaman Ko Ho Sing, di mana transisi komunitas Tionghoa dalam diaspora. Bagaimana latar belakang seperti kampung halaman menjadi penentu identitas. Kemudian, melihat individual dan antagonistik yang mendrong pada nasionalisme baru. Disinilah dinamika itu terbentuk. Pengalaman Ko Ho Sing, menjadi penting dalam pergeseran budaya ini. Karena dalam momen-momen dimana mereka menjadi pedagang yang terkadang sudah tidak fasih berbahasa Tionghoa, kemudian pengalamannya sebagai orang Tionghoa di Jawa dalam memoir seperti tembang macapat, mencerminkan adanya budaya dan struktur sosial yang fleksibel serta ketegangan di dalamnya.
Mengutip Anthony Reid, Dr. Epafras mengemukakan mengenai essential outsiders, bagi kelompok kolonial. Bagaimana orang Tionghoa sebagai The Other tidak hanya di Jawa tetapi di Asia Tenggara, bagaimana orang luar ini dibutuhkan. Kemudian, poin keempat adalah manivestasi mikro kosmopolitanisme. Pengalaman cosmopolitan tetapi dalam mikrokosmos, mendeteksi pengalaman keseharian. Selain itu, Ko Ho Sing, merupakanindividu laten yang penuh potensi, perjuangan, dan frontier. Dalam bisnis candu yang sudah melewati koneksi di Singapura, Shanghai, menunjukkan agensi yang besar.
Pembicara kedua merupakan Dr. Abdul Wahid, menurut beliau buku ini sangat penting sebagai kontribusi historiografi Indonesia dan Tionghoa Indonesia. Karena menyajikan manuskrip langka berisi memoir atau autobiografi seorang pebisnis Tionghoa dalam bentuk macapat Jawa ini luar biasa. Menurutnya, tokoh ini memiliki kesadaran historis dengan menuliskan sejarah hidupnya, ayahnya, bagaimana membuka peluang bisnis dari nol hingga mancanegara. Abdul Wahid juga memiliki beberapa poin penting yang disampaikan. Pertama, buku ini berisi informasi historis. Sebagai sumber alternative selain sumber dari kolonial. Kedua, merupakan tokoh baru. Ko Ho Sing berbeda dengan tokoh lain, dalam budaya, relasi dengan komunitas lain dan ekonominya. Manuskrip ini tidak hanya tentang Ko Ho Sing, namun juga ayahnya. Karena ayahnya terlibat langsung dengan orang Jawa. manuskrip ini memberikan gambaran perspektif masyarakat Tionghoa dalamperistiwa gempa bumi 1867, praktek opium, dan perang jawa.
Dalam manuskrip digambarkan mereka terjepit ketika perang Jawa terjadi. Menjadi target persekusi dan merelakan property mereka. Mencoba mendekatkan pada siapapun untuk memberikan keamanan. Perspektif yang tidak hitam putih sangat diperlukan. Kemudian pada periatiwa Gempa 1867, menjadi ujian berikutnya. Bagaimana relasi masyarakat itu terjadi,momen dimana melihat siapa musuh atau kolega karena sikap filantropi sesame korban. Pengalaman luar biasa Ko Ho Sing yang tercatat dalam manuskrip ini mengenai praktek opium, berawal dari usaha kecil-kecilan yang kemudian menjadi berkembang dan masuk sektor ekonomi baru. Mereka mengalami mobilitas sosial, masuk lingkaran elit Tionghoa, tetapi juga elit kolonial dan Jawa. mereka menjadi mata rantai dari sistem ekstraksi dan eksploitasi.
Sesi kedua yang dimulai dengan pengantar dari dosen Sejarah FIB UGM, Wildan Sena Utama mengenai hibriditas. Beliau memberikan sebuah contoh dalam bukunya Denys Lombard, Nusa Jawa, bagaimana banyak diaspora, persilangan budaya di dalamnya. Dilanjutkan dengan Prof. Sugeng Priyadi sebagai pembicara pertama mengenai banyak teori yang belum tersentuh dalam sejarah yang menimbulkan berbagai pertanyaan. Maka, beliau berpendapat bahwa Filologi menjadi ilmu penting dalam sejarah. Mengutip dari Sartono, beliau mengatakan bahwa meneliti karya babad atau sejenis bisa mengkaji sejarah intelektual, mentalitas, dan ide-ide.
Pembicara kedua dalam sesi ini merupakan Prof. Rustopo, beliau memberikan materi mengenai Wo Gan Kam yang merupakan penggagas atau creator sekaligus pengusaha wayang orang panggung. Sedikit banyak memiliki kesamaan dengan Ko Ho Sing dalam hal mengembangkan bisnis dari kecil-kecilan hingga memasuki sektor ekonomi baru. Ketika dampak industrialisasi dan pembangunan infrastruktur oleh kolonial, maka terjadi perubahan sosial yang beragam. Gan Kam menjawab tantangan perubahan kondisi ini dengan menghadirkan gaya usaha seni sekaligus komersial. Dalam materi ini, kita tahu bahwa melalui seni dan budaya, hibriditas antara Tionghoa dan Jawa membentuk suatu hal baru.
Pembicara ketiga yang dihadirkan merupakan Prof. Bambang Purwanto. Menyambung Prof. Rustopo terkait Gan Kam, beliau menemukan setidaknya tiga sumber terkait, dijelaskan dalam iklan di abad ke-19, Gan Kam seorang penjual sepatu, maka menurutnya Gan Kam bukanlah pedagang kecil. Iklan berikutnya yang ditemukan pada tahun 1902, berisi teh produksi asal Jepang dan Fromosa atau Taiwan sekarang dijual di Surakarta sebagai pengimpor. Kemudian iklan ketiga pada tahun 1924 dinyatakan bangkrut, sebelum krisis. Prof. Bambang melihat sejarah dalam kehidupan sehari-hari, karena yang disampaikan Prof. Rustopo dinamika berlangsung pada konteks kehidupan sehari-hari. Hibriditas memiliki satu unsur yang sangat penting dalam kontestasi. Apakah dalam konteks ini akulturasi adalah bagian hibriditas?
Konsep hibriditas awalnya muncul dalam konteks kolonial dan konsep Peranakan banyak disalahartikan. Secara historis, hanya untuk oranng cina yang menjadi muslim. Problem kedua, peranakan adalah campuran. Menurut Prof. Bambang, cara terbaik melihat hibriditas adalah dengan menempatkan mereka dalam konteks sehari-hari dapat melalui seni kebudayaan atau juga kuliner. Bukan berbicara tentang ketamakan, tetapi juga ada unsur kemanusiaan, insight yang harus kita perhatikan.
Penulis: Fatimah Azzahra Amalia