Rabu (19-10), Departemen Sejarah UGM menyelenggarakan workshop bertajuk Transnational Histories of Activism in Southeast Asia and Beyond. Bersama dengan Bristol University dan Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan (RUAS), pembicara dari berbagai bidang diundang untuk memberikan kuliah umum mengenai aktivisme transnasional. Pembicara-pembicara yang diundang mencakup Brigitta Isabella, Fadiah Nadwa Fikri, Ita F. Nadia, Su Lin Lewis, Widya Fitrianingsih, Wildan Sena Utama, dan Yulianti. Acara dimulai dengan sambutan dari Abdul Wahid selaku Ketua Departemen Sejarah UGM.
Sesi pertama fokus kepada peran perempuan dalam gerakan-gerakan transnasional. Terdapat pembahasan mengenai partisipasi wanita dalam gerakan dekolonial transnasional 1940-1960an. Kemudian, diskusi disusul dengan tema jaringan wanita buddhis di selatan dan Asia Tenggara 1930-1960an. Namun, Ita F. Nadia menekankan bahwa wanita-wanita yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan ini sering kali datang dari golongan elit. Kebanyakan dari mereka telah mengenyam pendidikan Belanda. Di sisi lain, wanita dalam gerakan akar rumput sulit untuk dituliskan sejarahnya karena kurangnya sumber. Bahkan, sumber yang digunakan untuk menulis sejarah perempuan biasanya datang dari arsip pribadi. “Ini adalah tugas kita, menampilkan kembali wanita lewat narasi yang tidak dituliskan,” jelas Ita.
Kegiatan dilanjutkan dengan pembahasan mengenai gerakan solidaritas transnasional. Diskusi yang dimoderatori oleh Farabi Fakih ini mencoba untuk membawa narasi baru untuk merevisi narasi nasional dan global hegemonik. Pembahasan mencakup jaringan Afro-Asia dan antiimperialisme dunia ketiga 1950-1960an, solidaritas kultural Afro-Asianisme dalam seni, serta sejarah yang berkelindan dalam resistensi antikolonial. Dari semua pembahasan, dapat disimpulkan bahwa subjek-subjek yang dibahas memiliki agensi di tengah perubahan yang terjadi di tingkat global. “Dalam jaringan yang global dan transnasional, mereka bukan hanya bertindak sebagai pengamat tetapi juga agen dan pencipta dari jaringan itu,” ujar Farabi.
Pada akhir acara, Su Lin Lewis merefleksikan bahwa terdapat sejarah-sejarah yang terlupakan. Sejarah-sejarah tersebut adalah sejarah yang melampaui ideologi dan sejarah mengenai marjinalisasi. Mereka tersemat dalam jaringan-jaringan internasional yang dilandasi semangat antikolonialisme yang muncul. Maka dari itu, kacamata transnasional menjadi alat yang penting. “Melalui pendekatan transnasional, meskipun kita sudah familier dengan suatu hal, kita dapat menghasilkan pemahaman yang baru,” timpal Wahid.
Penulis: Venessa Theonia