Pendidikan masa kolonial selalu identik dengan politik etis. Sebuah kebijakan balas budi kepada tanah koloni, alih-alih sebelumnya mengekploitasi. Hal ini berakibat pada historiografi yang membahas pendidikan kolonial selalu berfokus pada pemerintah. Bahwa pendidikan tidak bisa lahir tanpa ada campur tangan pemerintah –Hindia Belanda. Hal itu diutarakan Kirsten Kamphius dalam seminar yang bertajuk ‘Gadis-Gadis Kita’ : Taman Siswa as an example Gendered education in the Netherland Indies 1922-1942, pada Rabu (19/7) di Ruang Multimedia Gedung Margono FIB UGM.
Kirsten berpendapat dengan banyaknya penonjolan peran pemerintah dalam historiografi pendidikan, maka berpotensi hanya memberi sedikit ruang untuk tema-tema lain. Oleh karena itu, sebagai upaya menentang gagasan bahwa pendidikan kolonial adalah semata-mata masalah tata pemerintahan, ia kemudian meneliti tentang pengalaman anak-anak perempuan masa kolonial. “Dalam penelitian yang sebenarnya adalah proyek Ph.D. saya ini, saya berusaha menganalisis pendidikan namun berfokus pada pendidikan anak perempuan di empat wilayah Hindia Belanda antara tahun 1880 sampai 1940,” paparnya.
Pemilihan masa kanak-kanak adalah sebagai alat metodologis, yakni menggunakan kategori gender dan usia. Sementara itu fokus penelitian, dimana ia bisa melihat praktik pendidikan masa kolonial adalah pada lembaga pendidikan non-pemerintah seperti sekolah islam dan Kristen. “Dengan membandingkan berbagai tanda dan pola pengajaran di sekolah-sekolah itu, saya ingin menyelidiki bagaimana perkembangan pendidikan anak-anak perempuan masa kolonial,” jelasnya.
Lebih jauh alumnus pascasarjana Universitas Leiden itu melihat pola pendidikan pada anak perempuan adalah cerminan perkembangan masyarakat kolonial yang lebih luas. Dalam artian, ia bisa melihat perubahan posisi perempuan masa itu : di pasar tenaga kerja sampai kelahiran gerakan antikolonial.
Untuk melihat perkembangan pendidikan anak perempuan di koloni Hindia Belanda, pada kesempatan itu Kirsten menggunakan contoh Taman Siswa sebagai objek penelitian. “Mengapa Taman siswa menjadi penting?” kata Kirsten.
Taman siswa selain menjadi pondasi bagi lahirnya pendidikan, juga mempunyai kurikulum yang unik. Taman siswa mengajarkan kurikulum tentang pemahaman gender bagi anak didiknya. Kirsten dalam presentasinya menyuplik karya Ni Soelasmi dalam Pendidikan Anak-anak (1933), menerangkan bahwa anak laki-laki yang dididik bersama anak-anak perempuan akan menerima kehalusan dan dan kesopanan. Demikian sebaliknya, anak perempuan juga akan menerima perasaan keberanian dan bersahaja dari anak laki-laki.
Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan menempatkan diri sebagai keluarga. Pada gilirannya ia mempunyai pondasi tersendiri bagi anak didiknya, termasuk bagi anak didik perempuan. Salah satunya, tergambar dari tulisan Nji Mangoensarkoro yang berjudul Kedoedoekan wanita dalam keluarga Taman Siswa (1934). Kirsten dengan menyuplik Nji Mangoensarkoro menerangkan, “Menurut paham Taman Siswa kodrat wanita yang paling utama adalah menjadi ibu. Segala sifat dan kecakapan keperempuanan yang baik adalah syarat-syarat untuk menjalankan kewajiban ibu sebagai pendidik yang sempurnya,”pungkasnya. (Sej/Bagus)