Pada hari Kamis,16 Oktober 2025, Departemen Sejarah FIB UGM bekerjasama dengan Program Studi Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora FIB UGM menyelenggarakan suatu Seminar dan Studi Wawasan yang mengangkat Tema “Bahasa dan Ciri Khas Kolonialisme di Nusantara”. Seminar ini diisi oleh Joss Wibisono, seorang Jurnalis dan Peneliti yang memiliki keahlian dan banyak menulis tentang praktik kolonialisme di Hindia Belanda ditinjau melalui sudut pandang Bahasa dan Sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Beliau pula dikenal sebagai seorang kontributor dalam berbagai Media Online seperti Tempo, Historia.id, dan Indoprogres. Seminar ini dibersamai pula oleh Uji Nugroho Winardi, S.S., M.A., salah satu akademisi dan tenaga pendidik dari Departemen Sejarah FIB UGM, yang bertindak sebagai moderator. Turut hadir dalam kegiatan ini Kepala Departemen Sejarah UGM Dr. Abdul Wahid, M.Hum., M.Phil. yang memberikan sambutan dan kata pembuka dari kegiatan ini.
Seminar ini berusaha untuk memberikan penjelasan dan uraian terkait bagaimana cara kita memahami peran dan kedudukan bahasa sebagai salah satu instrumen yang melekat dengan praktik kolonialisme di Hindia Belanda yang masih berdampak pada kehidupan masyarakat setelah Indonesia Merdeka. Bahasa merupakan salah satu instrumen yang penting dalam memahami konteks sosial-politik yang berkembang di Hindia Belanda pada Periode Kolonial. Pembahasan dibuka dengan melihat realitas kolonialisme yang terjadi di berbagai belahan dunia seperti Kolonialisme Perancis di Maroko dan Kolonialisme Inggris di Malaysia dan Singapura yang tidak hanya menanamkan pengaruh secara politik dan ekonomi, melainkan turut menyebarluaskan budaya dan bahasa yang digunakan oleh masyarakat negeri induk kepada masyarakat tempatan yang ada di negeri jajahan. Namun, kondisi ini berbeda dengan keadaan di Hindia Belanda yang kemudian akan bertransformasi menjadi Indonesia, di mana praktik kolonialisme Eropa yang terjadi sejak setidaknya awal abad ke-19 sampai dengan pertengahan abad ke-20 tidak banyak meninggalkan sisa tradisi dan kebudayaan kolonial dalam kehidupan masyarakat tempatan, utamanya dalam hal bahasa. Hal ini dapat terjadi karena sistem kebudayaan dan bahasa yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda kala itu yang sangat terikat oleh ikatan-ikatan segregasi sosial, di mana Bahasa Belanda yang memiliki posisi sebagai bahasa resmi pemerintahan hanya dikuasai oleh segelintir Masyarakat Bumiputera dan Eropa yang memiliki posisi dan kedudukan tinggi dalam tatanan sosial-politik masyarakat di Hindia Belanda. Sedangkan sebagian besar masyarakat di Hindia Belanda menggunakan Bahasa Melayu Pasar yang kemudian setalah Indonesia Merdeka akan diserap menjadi Bahasa Nasional Indonesia yang secara teknis masih memiliki banyak keterbatasan dalam hal pemaknaan kosakata.
Melalui seminar ini dapat dipahami bahwa Bahasa tidak hanya dapat dipahami sebagai media komunikasi sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat, melainkan turut berperan pula sebagai sistem dan alat legitimasi struktur sosial dan politik yang terjadi dalam praktik kolonialisme utamanya di Hindia Belanda. Di samping itu, seminar ini juga memberikan kita refleksi tentang posisi dan kapasitas Bahasa Indonesia sebagai bahas nasional dan pengantar dalam berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus bisa mengikuti serta memenuhi tuntutan perkembangan zaman sehingga dapat terus digunakan dan relevan dengan laju pertumbuhan zaman dan pola pikir masyarakat.
Penulis: Mochamad Rizky Saputra

