
Isu lingkungan yang muncul di abad ke-21 mungkin menjadi salah satu problem yang paling mendesak dan relevan bagi para akademisi dan juga aktivis lingkungan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Solusi yang selama ini tampak bersifat teknokratis nyatanya hanya cenderung menghasilkan marjinalisasi dan kekerasan yang terus berlanjut—bahkan terus menguat. Oleh karena itu, memahami dan mengeksplorasi ragam potensi dan juga limitasi yang ada atas permasalahan lingkungan merupakan sesuatu yang perlu dilakukan.
Pesan itu disampaikan oleh Dr. Farabi Fakih, ketua Program Studi Magister Sejarah, ketika memberikan sambutan pengantar dalam Konferensi Sejarah Lingkungan 2025. Konferensi ini merupakan wujud kolaborasi antara Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (FIB UGM), Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV) Leiden, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), yang diselenggarakan pada Rabu dan Kamis, 25-26 Juni 2025, di Ruang Multimedia, Gedung Margono, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Sebelum itu, konferensi ini dibuka secara langsung oleh Dr. Mimi Savitri, M.A. selaku Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerja Sama FIB UGM, pada Rabu pagi (25/7). Menurutnya, pendekatan multidisiplin yang diusung dalam konferensi ini merupakan hal yang sangat penting untuk memahami masalah lingkungan yang terjadi hari ini. Ini menjadi kesempatan krusial untuk membuka jalan bagi berlangsungnya dialog yang komprehensif antara akademisi, aktivis, dan masyarakat, termasuk dalam upaya memahami kembali ontologi relasi manusia dengan alam melalui perspektif lokal.
Bertajuk “Locality, Ontologies, and Environmental History,” konferensi ini bertujuan untuk mengeksplorasi ontologi tradisional dan modern di Yogyakarta dan juga Asia Tenggara, dengan menekankan aspek lokalitas sebagai situs kontestasi, hibriditas, resistensi, dan permainan kekuasaan, mencakup aspek historis dan kultural yang ada di dalamnya. Dalam penyampaiannya, Dr. Farabi Fakih menyatakan bahwa pendekatan multidisiplin berbasis situs yang diusung dalam konferensi ini juga bertujuan untuk mendorong perbandingan dan mencoba untuk mengambil jarak atas generalisasi yang cenderung simplistik.
Sebagai tambahan, konferensi ini merupakan rangkaian dari komitmen Departemen Sejarah untuk mengarusutamakan historiografi lingkungan di Indonesia. Upaya ini telah berlangsung paling tidak sejak tiga tahun terakhir. Pada 2022, konferensi sejarah lingkungan untuk pertama kalinya dilaksanakan, disusul dengan Sekolah Musim Panas (Summer School) yang diselenggarakan secara berturut-turut pada 2023 dan 2024. Spirit yang diusung juga sama, yakni penelitian dan pembelajaran berbasis situs (site-based) dan pendekatan multidisipliner.
Panel 1 bertajuk Climate Change and Adaptation. Dari kiri ke kanan: Dr. Siti Nurleily Marliana dan Dr. Dyah Woro Untari (Pembahas); Raafi Nur Ali dan Pitaloka Ainun Yasmin (Pembicara), Tatag Nasrul Andriawan (Moderator). Departemen Sejarah/Aly Azca.
Konferensi ini melibatkan sejumlah akademisi dan aktivis lingkungan dari beragam institusi dan spesialisasi. Di antaranya adalah Prof. Diana Suhardiman (Direktur KITLV Leiden), Dr. Adrian Perkasa (KITLV Leiden), Dr. Laksmi Adriani Savitri (FIAN Indonesia), Dr. Agung Wardana (Fakultas Hukum UGM), Rangga Kala Mahaswa, M.Phil (Fakultas Filsafat UGM), Dr. Siti Nurleily Marliana (Fakultas Biologi UGM), Dr. Dyah Woro Untari (Fakultas Pertanian UGM), Prof. Amalinda Savirani (Fisipol UGM), Dr. Rudy Wiratama (Sastra Jawa FIB UGM), I Kadek Surya Jayadi, M.A (Universitas Udayana), serta Dr. Abdul Wahid, Dr. Farabi Fakih, dan Dr. Wildan Sena Utama dari Departemen Sejarah UGM. Selain itu, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur WALHI Eksekutif Nasional, Dwi Sawung, juga turut hadir dalam konferensi tersebut.
Jumlah peserta yang ikut dalam konferensi ini mencapai 60-an orang. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari mahasiswa, aktivis, hingga jurnalis yang sama-sama menaruh perhatian pada isu-isu lingkungan.
Konferensi ini juga menjadi kesempatan bagi para peneliti muda untuk mendiseminasikan hasil penelitiannya yang telah dilakukan selama setahun terakhir. Mereka merupakan peneliti yang tergabung dalam penelitian bertajuk “Sejarah dan Ontologi Lingkungan Yogyakarta: Membentuk Ekologi Manusia”, yakni Pitaloka Ainun Yasmin (Fisipol UGM), Raafi Nur Ali (Fakultas Biologi UGM), Rydho Bagus Pratama (Magister Sejarah UGM), Rizki Abiyoga (WALHI Yogyakarta), Dimas Ramadhan Perdana (WALHI Yogyakarta), Gilang Mahadika (Antropologi UGM), Yayum Kumai (Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Muhammadiyah), dan Maulida Meilana Dewi (Fakultas Biologi UGM). Di samping itu, konferensi ini juga mengundang Konsorsium Air Warga (Caring Water) yang diwakili oleh Nicolas Kriswinara untuk berbagi hasil riset mereka mengenai masalah air di Yogyakarta dan Semarang.
Secara keseluruhan, terdapat enam panel diskusi tematik yang disusun dalam konferensi ini. Panel 1 sampai 3, yang masing-masing bertajuk Climate Change and Adaptation, Water Management and Land Transformation, dan Power, Environment, and Governmentality diselenggarakan pada hari pertama, sementara panel 4 sampai 6 yang bertajuk Local Environmental Knowledge and Practices, Urban Ecological Politics and Social Movement, dan Capitalocene and Anthropocene Epoch diselenggarakan di hari kedua.
Sistem Kalender Pertanian Jawa atau yang dikenal sebagai Pranata Mangsa menjadi salah satu topik yang cukup banyak diperbincangkan. Topik ini muncul hampir di setiap panel. Sejumlah peneliti seperti Dr. Adrian Perkasa, Maulida Meilana Dewi, dan Rizki Abiyoga, misalnya, dalam risetnya berupaya untuk mencermati kembali praktik dan relevansi Pranata Mangsa di tengah perubahan iklim serta dampaknya terhadap relasi sosio-ekologis masyarakat dan alam, khususnya di bidang pertanian dan ketahanan pangan. Hal yang sama juga dipaparkan oleh I Kadek Surya Jayadi yang memaparkan tentang Kalender Masyarakat Bali sebagai bagian dari ontologi lokal.
Konferensi yang diselenggarakan selama dua hari ini berlangsung intens dan provokatif. Dalam pesan penutupnya, Dr. Farabi Fakih mengucapkan selamat kepada semua pihak yang telah mempresentasikan hasil penelitiannya. Ia mengaku senang karena setiap materi yang disampaikan mendapat tanggapan konstruktif dan berhasil memicu diskusi kritis dari para peserta yang hadir. Dalam refleksinya, ia menyoroti, salah satunya, bahwa kapitalisme benar-benar telah menggerus tatanan pengetahuan lokal, termasuk mitos, sebagai bagian dari ontologi masyarakat. “Ini sama artinya bahwa kapitalisme telah mencabut manusia dari akarnya, mencabut manusia dari nature-nya,” pungkasnya di akhir acara.
Direktur KITLV Prof. Diana Suhardiman, yang telah banyak mengkaji tata kelola sumber daya alam di wilayah Asia Tenggara Daratan dan turut serta sebagai pembahas dalam konferensi tersebut, mengaku terkesan dengan seluruh hasil penelitian yang telah disajikan. Ia menyampaikan apresiasinya atas pencapaian yang telah diraih oleh para peneliti, khususnya dalam usaha mengungkap ontologi kerakyatan yang selama ini cenderung diabaikan dalam wacana pengetahuan modern.
Sementara itu, Ketua Departemen Sejarah Dr. Abdul Wahid menyatakan, kekayaan metodologi yang dihadirkan dalam konferensi ini merupakan elemen penting untuk memahami isu lingkungan kontemporer. “Sayang sekali jika [hasil penelitian ini] tidak sampai diterbitkan,” katanya.
Sejumlah peneliti juga berharap kegiatan tersebut tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka menyatakan komitmen untuk menindaklanjuti hasil konferensi tersebut. Yayum Kumai, misalnya, mengingatkan bahwa penting untuk membahasakan hasil penelitian mereka ke medium yang lebih populer dan membuatnya sampai kepada pemangku kebijakan. Peserta yang lain pun berharap agar hasil konferensi ini bisa dibuat open access. “Sehingga cakupannya bisa menjangkau masyarakat luas,” ucap Rizki Abiyoga.
Salah satu penyaji sekaligus pembahas dalam konferensi tersebut, Dr. Adrian Perkasa juga menilai, pertemuan yang singkat itu bagaimanapun berhasil membangun komunitas multidisipliner yang menautkan beragam latar belakang keilmuan. “Terbangunnya koneksi lintas disiplin ilmu, bagi saya, merupakan hal yang tidak ternilai harganya,” ujarnya.
Peserta site visit berdiskusi dengan petani di tepi sawah surjan, Desa Pleret, Kulon Progo, DI Yogyakarta. Departemen Sejarah/Rafi Pahrezi
Sebagai tambahan dari rangkaian kegiatan, di hari ketiga (27/7) sekitar 30-an peserta melaksanakan kunjungan situs (site visit) ke dua tempat, yakni Desa Garongan dan Desa Pleret, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kedua desa tersebut merupakan lokasi penelitian Yayum Kumai dan Rizki Abiyoga yang memiliki riwayat tradisi Pranata Mangsa.
Selain mendengarkan penuturan warga mengenai praktik dan evolusi Pranata Mangsa berdasarkan pengalaman mereka, para peserta juga diajak untuk melihat langsung lokasi perkebunan warga di pesisir pantai Desa Garongan dan pertanian sawah surjan di Desa Pleret.
Secara keseluruhan, rangkaian acara konferensi ini menjadi wadah penting untuk menjembatani dialog antara sains, aktivisme, dan pengetahuan lokal dengan semangat dekolonisasi sebagai upaya untuk menjawab tantangan dan krisis lingkungan yang menjadi fenomena global.
Penulis: AS