Pada Rabu, 06 Maret 2024, Departemen Sejarah FIB UGM menggelar seminar series tentang sejarah orang Tionghoa di Indonesia. Seminar yang bertajuk “The Role of Chinese in Indonesian History” ini dilaksanakan di Ruang Multimedia Lantai 2, Gedung Margono FIB UGM sejak pukul 10.00 hingga 12.00 WIB. Seminar ini sangat menarik karena pembicara yang hadir untuk mempresentasikan hasil penelitiannya berasal dari Tiongkok. Sementara itu, Dr. Farabi Fakih, M.Phil. dari Departemen Sejarah UGM bertugas menjadi moderator.
SDGs 4
Rapat senat terbuka dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-78 FIB UGM sukses diadakan pada Selasa, 5 Maret 2024 yang lalu. Dalam acara tersebut, salah satu dosen dan mahasiswa Departemen Sejarah FIB UGM berhasil menyabet penghargaan sebagai dosen berprestasi dan mahasiswa berprestasi. Dosen itu ialah Dr. Agus Suwignyo, M.A. serta seorang mahasiswa Sejarah angkatan 2020, yaitu Dinda Nabila.
Ketika diwawancarai, Dinda Nabila mengungkapkan bahwa ia merasa sangat bersyukur atas penghargaan yang telah diberikan kepadanya. “Alhamdulillah, tentunya bersyukur. Kalau sedikit flashback, banyak hal yang kucoba dan pastinya enggak selalu mulus. Banyak proses behind the scenes yang melelahkan. Tapi dengan semua itu, jadi bisa cherish setiap prosesnya. Tapi, other than that, sempat merasa i don’t deserve it, gitu, sih, karena, ya, banyak teman-teman yang keren dan pantas juga dapat ini,” tutur Dinda.
Sejarah Dua Taman Hiburan di Solo dan Jakarta Dibahas dalam Kolokium Magister Departemen Sejarah UGM
Kamis (22/2/2024), Departemen Sejarah FIB UGM sukses mengadakan kolokium Magister Sejarah dengan dua pemakalah, yakni Indriyani dan Nur Fadilah Yusuf. Sementara itu, Dr. Mutiah Amini, M.Hum. dan Dr. Wildan Sena Utama, S.S., M.A. bertugas sebagai pembahas. Acara itu juga dihadiri oleh Kepala Departemen Sejarah dan mahasiswa S2-S3 Sejarah yang berlangsung pukul 13.30 hingga 15.30 WIB di ruang 709 Gedung Soegondo FIB UGM.
Indriyani dengan rencana tesis berjudul “Simbol Raja menjadi Simbol Kota: Taman Sriwedari di Surakarta 1901-1987” menjadi pemakalah pertama dalam kolokium itu. Secara umum, tesisnya menjelaskan tentang Taman Sriwedari yang mengalami perubahan dari ruang eksklusif menjadi ruang inklusif. Awalnya, Taman Sriwedari didirikan oleh Pakubuwana X pada 1901 sebagai ruang privat keraton, sehingga masyarakat biasa sering menyebut taman itu sebagai “Bon Raja” atau “Kebon Raja” yang berarti “Taman Raja”. Kemudian, kondisi itu berubah ketika komersialisasi atas Taman Sriwedari terjadi melalui pemberlakuan tiket masuk atau karcis. Akhirnya, taman itu menjadi ruang publik. Pasca kemerdekaan Indonesia, Taman Sriwedari bertambah fungsi menjadi ruang revolusi yang mana mayoritas hasil penjualan karcisnya digunakan untuk kepentingan kemerdekaan. Setelah masa revolusi, ada anggapan dalam masyarakat yang mengatakan “belum ke Solo kalau belum ke Sriwedari”, sehingga menurut Indriyani, Taman Sriwedari pada akhirnya menjadi semacam simbol kota Solo.