Departemen Sejarah FIB UGM berkolaborasi dengan RUAS (Ruang Arsip Sejarah Perempuan) sukses mengadakan kuliah umum bertajuk ‘Documenting Social History in Indonesia: The Work of International Institute of Social History’ pada Rabu (24/4/2024). Acara tersebut digelar secara hybrid di ruang 114 lantai 1 Gedung Soegondo FIB UGM dan disiarkan melalui kanal Youtube. Eef Vermeij, seorang Collection Development Asia dari IISH (International Institute of Social History) dihadirkan sebagai pembicara untuk membagikan kisah pendirian lembaga pengelola arsip tersebut serta pengalamannya ketika bekerja di sana.
Kamis (18/4/2024), Departemen Sejarah FIB UGM melaksanakan kegiatan anjangsana dalam rangka hari raya Idul Fitri 1445 Hijriah. Anjangsana tersebut diawali dengan mengunjungi kediaman Prof. Dr. Djoko Suryo di kawasan Perumahan Dosen UGM Sendowo. Lalu, kunjungan berikutnya menuju ke kediaman Prof. Dr. Suhartono yang berlokasi di Kaliurang. Hampir semua dosen serta tenaga pendidik Departemen Sejarah hadir dalam kegiatan tersebut.
Kesempatan yang baik itu menjadi ajang penting silaturahmi bagi para dosen serta tenaga pendidik kepada para dosen yang sudah purna tugas. Dalam kegiatan tersebut, Dr. Abdul Wahid, M.Hum., M.Phil., selaku Kepala Departemen Sejarah juga memperkenalkan dosen baru serta para dosen yang baru menyelesaikan masa studi doktoralnya. Suasana ketika itu sangat hangat. Prof. Dr. Djoko Suryo dan Prof. Dr. Suhartono pun mengungkapkan rasa terima kasihnya atas kegiatan anjangsana yang dilakukan oleh Departemen Sejarah FIB UGM.
Sebuah public lecture bertajuk “Psychiatry in the Colonial Era” sukses diadakan oleh Departemen Sejarah FIB UGM pada Rabu (17/4/2024). Acara tersebut berlangsung sejak pukul 10.00-12.00 WIB di Ruang Multimedia yang terletak di lantai 2 Gedung Margono FIB UGM serta ditayangkan melalui Zoom Meeting. Marens Engelhard–seorang arsiparis dan sejarawan independen yang pernah menjadi direktur Arsip Nasional Belanda (2015-2022) menjadi pembicara dalam acara tersebut. Sementara itu, yang bertindak sebagai moderator adalah Sri Margana–seorang dosen dari Departemen Sejarah FIB UGM.
Selasa (19/3/2024), Dr. Mirjam Lücking, seorang antropolog sosial dan budaya dari Ludwig-Maximilians-Universität München menjadi dosen tamu dalam mata kuliah History and Memory Making in Southeast Asia yang diperuntukkan bagi mahasiswa S2 Sejarah FIB UGM. Materi yang dipresentasikan olehnya berjudul Hajj Memories and Pilgrims in State Contemporary Indonesia. Materi tersebut merupakan hasil penelitian etnografinya selama 14 bulan di Jawa Tengah dan Pulau Madura.
Secara umum, Dr. Mirjam Lücking menjelaskan bahwa terjadi pola yang berulang dalam pengalaman berhaji orang Indonesia dari masa ke masa. Pertama, sejak abad ke-15 hingga kini, pola tradisi migrasi campuran masih terjadi karena terdapat tenaga kerja migran yang juga melakukan haji sekaligus. Kedua, pada masa kolonial hingga kini, terjadi komersialisasi dan privatisasi berhaji. Hal itu ditunjukkan dengan adanya penemuan kapal uap dan perusahaan perjalanan Belanda pada abad ke-19. Pada masa kini, komersialisasi digambarkan khususnya terkait dengan paket tour VIP dan umrah sebagai ziarah yang sifatnya lebih minor. Sementara itu, organisasi agama seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah pada periode 1949-1960-an menunjukkan adanya proses privatisasi.
Sejarah dan Ontologi Lingkungan Yogyakarta: Membentuk Ekologi Manusia
Tentang Program
Departemen Sejarah, Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan KITLV menyelenggarakan penelitian multidisipliner dan multi-metode berbasis situs pada tahun 2024. Penelitian ini bertujuan untuk menggabungkan penelitian sejarah dengan penelitian di beragam situs lingkungan di Yogyakarta dengan tujuan mengangkat adaptasi dari pengetahuan lokal lingkungan Yogyakarta dengan ekologi-ekologi yang berbeda. Eksplorasi adaptasi ontologi lingkungan lokal dengan kondisi ekologi dan penetrasi serta pengaruh dari modal dan negara ini bertujuan untuk memahami bagaimana masyarakat memanfaatkan kearifan lokal dan ontologi Jawa mereka untuk membangun strategi-strategi menghadapi perubahan lingkungan dan menciptakan ekologi manusia yang berbasis pada budaya. Melalui penelitian ini, diharapkan akan menghasilkan sejarah lingkungan Yogyakarta dan pengetahuan-pengetahuan berbasis kebudayaan dan ontologi lokal yang diharapkan akan bermanfaat dalam menghadapi perubahan iklim di-abad ke 21.
Dalam sebuah public lecture yang diadakan pada Jum’at (8/3/2024), Departemen Sejarah UGM menghadirkan Dr. Maarten Fornerod, seorang associate professor di bidang biologi sel dari Erasmus Medisch Centrum Rotterdam. Selain itu, ia juga merupakan sekretaris organisasi Indische Genealogische Vereniging (IGV). Kegiatan ini mengusung judul Tracing Indonesian Family History in Europe: How the World Gets Smaller by Bigger Data From Archives and DNA yang dilaksanakan di Lantai 2 Ruang Multimedia, Gedung Margono FIB UGM sejak pukul 09.00-11.00 WIB.
Pada Rabu, 06 Maret 2024, Departemen Sejarah FIB UGM menggelar seminar series tentang sejarah orang Tionghoa di Indonesia. Seminar yang bertajuk “The Role of Chinese in Indonesian History” ini dilaksanakan di Ruang Multimedia Lantai 2, Gedung Margono FIB UGM sejak pukul 10.00 hingga 12.00 WIB. Seminar ini sangat menarik karena pembicara yang hadir untuk mempresentasikan hasil penelitiannya berasal dari Tiongkok. Sementara itu, Dr. Farabi Fakih, M.Phil. dari Departemen Sejarah UGM bertugas menjadi moderator.
Rapat senat terbuka dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-78 FIB UGM sukses diadakan pada Selasa, 5 Maret 2024 yang lalu. Dalam acara tersebut, salah satu dosen dan mahasiswa Departemen Sejarah FIB UGM berhasil menyabet penghargaan sebagai dosen berprestasi dan mahasiswa berprestasi. Dosen itu ialah Dr. Agus Suwignyo, M.A. serta seorang mahasiswa Sejarah angkatan 2020, yaitu Dinda Nabila.
Ketika diwawancarai, Dinda Nabila mengungkapkan bahwa ia merasa sangat bersyukur atas penghargaan yang telah diberikan kepadanya. “Alhamdulillah, tentunya bersyukur. Kalau sedikit flashback, banyak hal yang kucoba dan pastinya enggak selalu mulus. Banyak proses behind the scenes yang melelahkan. Tapi dengan semua itu, jadi bisa cherish setiap prosesnya. Tapi, other than that, sempat merasa i don’t deserve it, gitu, sih, karena, ya, banyak teman-teman yang keren dan pantas juga dapat ini,” tutur Dinda.
Jum’at (1/3/2024), Departemen Sejarah FIB UGM kembali menggelar acara kolokium magister sejarah. Terdapat dua pemakalah dan dua pembahas dalam kolokium tersebut, yakni Fajar Santosa dan Adi Wildan Alamsyah sebagai pemakalah, serta Dr. Ahmad Athoillah dan Dr. Ravando sebagai pembahas. Acara berlangsung secara hybrid (daring dan luring) sejak pukul 09.00 hingga 12.00 WIB di Ruang 709 Gedung Soegondo FIB UGM.
Fajar Santosa merupakan pemakalah pertama dalam kolokium itu. Ia mempresentasikan rencana tesis berjudul “Ketika Rakyat Memberontak: Gerakan Massa dalam Reformasi 1998 di Surabaya” yang membahas gerakan massa di kota metropolitan kedua, yakni Surabaya, ketika pecahnya peristiwa reformasi yang berpusat di Jakarta. Ia menjelaskan bahwa tuntutan terhadap reformasi disebabkan oleh krisis ekonomi yang terjadi ketika itu. Krisis itu menyebabkan harga barang naik, PHK terjadi di berbagai tempat, dan kerusuhan terjadi di mana-mana. Rakyat kecil dan kaum menengah pun panik. Mereka membentuk gerakan sosial yang menuntut adanya reformasi serta mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya.
Sejarah Dua Taman Hiburan di Solo dan Jakarta Dibahas dalam Kolokium Magister Departemen Sejarah UGM
Kamis (22/2/2024), Departemen Sejarah FIB UGM sukses mengadakan kolokium Magister Sejarah dengan dua pemakalah, yakni Indriyani dan Nur Fadilah Yusuf. Sementara itu, Dr. Mutiah Amini, M.Hum. dan Dr. Wildan Sena Utama, S.S., M.A. bertugas sebagai pembahas. Acara itu juga dihadiri oleh Kepala Departemen Sejarah dan mahasiswa S2-S3 Sejarah yang berlangsung pukul 13.30 hingga 15.30 WIB di ruang 709 Gedung Soegondo FIB UGM.
Indriyani dengan rencana tesis berjudul “Simbol Raja menjadi Simbol Kota: Taman Sriwedari di Surakarta 1901-1987” menjadi pemakalah pertama dalam kolokium itu. Secara umum, tesisnya menjelaskan tentang Taman Sriwedari yang mengalami perubahan dari ruang eksklusif menjadi ruang inklusif. Awalnya, Taman Sriwedari didirikan oleh Pakubuwana X pada 1901 sebagai ruang privat keraton, sehingga masyarakat biasa sering menyebut taman itu sebagai “Bon Raja” atau “Kebon Raja” yang berarti “Taman Raja”. Kemudian, kondisi itu berubah ketika komersialisasi atas Taman Sriwedari terjadi melalui pemberlakuan tiket masuk atau karcis. Akhirnya, taman itu menjadi ruang publik. Pasca kemerdekaan Indonesia, Taman Sriwedari bertambah fungsi menjadi ruang revolusi yang mana mayoritas hasil penjualan karcisnya digunakan untuk kepentingan kemerdekaan. Setelah masa revolusi, ada anggapan dalam masyarakat yang mengatakan “belum ke Solo kalau belum ke Sriwedari”, sehingga menurut Indriyani, Taman Sriwedari pada akhirnya menjadi semacam simbol kota Solo.